REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) menyoroti jurnalis media massa yang terlalu mengekspose identitas korban pemerkosaan. Menurut Rahmi dari UNHCR Indonesia, ketika terjadi kasus pemerkosaan termasuk pada pengungsi ternyata media massa dengan mudahnya mengekspose korban mulai wajah hingga identitasnya.
"Padahal dia (korban) pasti mengalami goncangan psikologis. Ini perlu ditekankan (supaya media) harus sangat respek," katanya saat ditemui di diskusi publik diskusi publik bertemakan 'Perempuan, Pengungsi dan Kekerasan Seksual', di Jakarta, Rabu (5/12).
Ia juga juga tidak habis pikir media yang masih bertanya bagaimana perasaan korban padahal hal tersebut tidak perlu ditanya. Ia menegaskan, wartawan media massa yang memberitakan kasus tersebut tidak akan tahu rasanya.
Jadi, kata dia menambahkan, para jurnalis yang memberitakan kasus tersebut hanya sekadar melihat atau merasakan. "Jadi sangat kami sarankan menjaga kerahasiaan dan tidak begitu saja di ekspose di media," ujarnya.
Sementara itu, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengungkap kurangnya perlindungan para perempuan di tempat pengungsian. Hal ini pun membuat banyak kaum hawa yang menjadi korban pelecehan seksual.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Adriana Venny Aryani, meski tidak membuat pemetaan yang spesifik jumlah kasus pelecehan seksual pada wanita di tempat pengungsian, pihaknya mendapatkan temuan masalah ini.
"Kami menemukan bahwa sekitar 40 persen perempuan yang di camp (pengungsian) mengalami pelecehan seksual, kesehatan reproduksi. Jadi misalnya ada 100 perempuan yang ada di camp, 40 persen diantaranya mengalaminya," katanya.
Ia menambahkan, kalau melihat sembilan definisi kekerasan seksual, semua fenomena tragis itu terjadi di daerah bencana. Kekerasan seksual yang terjadi misalnya kekerasan seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, hingga pemaksaan perkawinan.