REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Ribuan perempuan dan anak perempuan dari Myanmar utara yang diperdagangkan ke Cina, telah dipaksa untuk menikah. Cina tercatat memiliki jumlah perempuan sekitar 33 juta lebih sedikit daripada laki-laki karena kebijakan satu anak selama satu dekade ini.
Untuk mengatasi kesenjangan itu, puluhan ribu perempuan miskin dari Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam dijual sebagai pengantin setiap tahunnya. Sebagian pergi dengan sukarela, sementara yang lainnya tertipu atau diperdagangkan.
Laporan terbaru dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health pada Jumat (7/12) memperkirakan, 7.500 perempuan Myanmar telah menjadi korban perkawinan paksa di Cina. Mereka sebagian besar berasal dari wilayah Kachin yang sedang dilanda kerusuhan dan Negara Bagian Shan utara.
Laporan disusun berdasarkan wawancara dengan sejumlah orang yang berhasil melarikan diri dan kembali ke Myanmar. Mayoritas dari mereka yang diperdagangkan dan dikawinkan, juga dipaksa untuk melahirkan seorang anak untuk suaminya.
"Para perempuan meninggalkan Myanmar karena konflik dan kemiskinan. Sementara ketidakseimbangan antara pria-perempuan di Cina, terutama di daerah perdesaan, berarti permintaan untuk seorang istri cukup tinggi," kata penulis laporan, W Courtland Robinson, dikutip Channel News Asia.
Moon Nay Li dari Asosiasi Wanita Kachin Thailand, yang memimpin penelitian lapangan di Kachin dan Shan, mengatakan seorang perempuan Myanmar mengaku telah diperdagangkan ke Cina selama tiga kali. Setiap kali ia dipaksa menikah, ia juga dipaksa untuk melahirkan anak.
"Karena ketidakstabilan politik, konflik dan perampasan tanah ... keamanan bagi perempuan merupakan tantangan besar," kata Nay Li.
Perkawinan sering diatur dan ditengahi oleh keluarga perempuan itu sendiri bersama tetua desa. Pengantin tidak dapat menolak karena mereka berada di bawah hirarki sosial.
Para perempuan termuda memiliki harga lebih tinggi, sebesar 10 ribu sampai 15 ribu dolar AS.
Calon suami mereka di Cina biasanya pria yang lebih tua, sakit, atau cacat di daerah perdesaan, atau orang-orang dianggap tidak diinginkan oleh Han Cina. Sementara kurangnya dokumentasi dari para perempuan itu, membuat mereka menjadi lolos dari hukum.
Laporan ini juga menemukan, para perempuan sering "disewa" untuk melahirkan anak-anak bagi suami mereka dan kemudian dipaksa keluar atau dijual ke suami baru untuk mendapatkan uang. Meski demikian, beberapa perempuan juga memiliki pernikahan yang sukses.
"Seringkali anak-anak perempuan tidak bisa mengatakan tidak kepada orang tua mereka. Pedagang (manusia) telah memberikan uang kepada orang tua mereka," kata Nay Li.
Para aktivis menyerukan kepada Myanmar untuk mengakhiri konflik di Negara Bagian Kachin dan Shan, yang telah menelantarkan puluhan ribu perempuan. Myanmar diminta melatih para petugas anti-perdagangan manusia untuk menegakkan hukum dan mengakui perempuan sebagai korban.