REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah yang berbalik melemah dalam tiga hari terakhir diklaim Bank Indonesia karena berbagai sentimen ekonomi global. Sentimen tersebut dari mulai penangkapan pimpinan korporasi asal Cina, Huawei, hingga penjualan saham di bursa-bursa utama dunia.
Otoritas moneter Bank Indonesia di Jakarta, Jumat, menyebutkan penangkapan Direktur Keuangan Huawei Meng Wanzhou di Kanada, telah direspons pelaku pasar sebagai indikasi bahwa perang dagang antara dua negara ekonomi raksasa, AS dan Cina, belum mereda pasca-pertemuan G-20.
Hal itu menimbulkan perkiraan bahwa Bank Sentral Cina juga akan melanjutkan respons dengan mendevaluasi kurs mata uang Yuan. "Perang dagang ini dikhawatirkan makin memperlambat ekonomi dunia. Respons dari Bank Sentral Cina yang melakukan depresiasi kurs yuan, sehingga hal ini yg membuat depresiasi kurs negara-negara berkembang," ujar Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara.
Pelaku pasar keuangan global juga sedang dibayangi oleh perkiraan melambatnya ekonomi AS berdasarkan ekspetasi pertumbuhan ekonomi dan pencapaian laba korporasi.
Pasar saham di dunia bereaksi dengan fenomena ini dengan turunnya indeks saham dalam beberapa waktu terakhir. Imbal hasil obligasi AS sudah terbalik atau menurun (inverted yield) yang menggambarkan ekspetasi pasar akan terjadi perlambatan.
Atas dasar itu, penjualan saham mulai terjadi di bursa-bursa utama dunia yang merambah ke bursa saham di negara berkembang. Hal ini secara temporer berimbas kepada pergerakkan nilai mata uang.
"Kita lihat kenapa terjadi pelemahan kurs di 'emerging market' (negara berkembang) temasuk Indonesia. Setelah terjadi penguatan, ada pelemahan kembali tentu adalah fenomena global," ujar Mirza.
Baca juga, Pelemahan Rupiah Berlanjut.
Melihat pelemahan nilai rupiah yang agak lebih besar dari beberapa negara lain, menurut Mirza, hal itu karena Indonesia masih mengalami defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) domestik."Hantu" CAD itu yang membuat pelaku pasar memberikan respons lebih besar kepada Indonesia dibanding negara lain.
"Maka itu, kita jangan terlena dengan adanya penguatan kurs sebelumnya, karena kita harus selesaikan masalah CAD kita," ujar Mirza.
Jika melihat secara jangka panjang, penjualan saham di negara-negara maju justru bisa berdampak positif bagi Indonesia karena akan terjadi arus modal masuk terhadap negara-negara berkembang. Imbasnya, pijakan bagi nilai tukar rupiah akan lebih kuat di 2019. "Penjualan saham di negara maju dampak kepada negara berkembang temporer, nanti di 2019 ekonomi AS melambat arus modal masuk ke negara berkembang," ujar dia