REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov berpendpat, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih berpotensi menguat hingga akhir tahun. Potensi itu terlihat meski kurs rupiah kembali melemah setelah menguat pada awal pekan ini.
"Rupiah masih berpotensi menguat hingga akhir tahun karena ekspektasi pasar bahwa The Fed tidak akan menaikkan 'fed rate' pada bulan ini," ujar Abra saat dihubungi di Jakarta, Jumat (7/12).
Sejak awal November 2018, rupiah mulai menguat dan menjauhi level Rp 15 ribu per dolar AS. Bahkan, pada 3 Desember 2018, rupiah menyentuh level Rp 14.200, tetapi kembali melemah dalam empat hari terakhir. Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, nilai tukar rupiah pada Jumat ini mencapai Rp 14.539 per dolar AS, melemah dibandingkan hari sebelumnya Rp 14.507 per dolar AS.
"Penguatan rupiah sejak awal pekan ini sebetulnya lebih banyak dipengaruhi penerbitan global bond atau SUN denominasi dolar AS, oleh pemerintah sebesar 3 miliar dolar AS," kata Abra.
Menurut dia, betul ada pengaruh dari gencatan perang dagang AS-Cina selama 90 hari terhadap nilai tukar rupiah. Namun, tetap masih ada risiko perang dagang kembali jika tidak ada titik temu dua negara tersebut. "Apalagi, Direktur Keuangan Huawei Tech baru saja ditangkap di Kanada yang kemudian diekstradisi ke AS dan akan didakwa pemerintah AS atas pelanggaran terhadap sanksi AS terhadap Iran. Peristiwa ini makin memperuncing tensi ketegangan hubungan AS-Cina," ujar Abra.
Ia memperkirakan, hingga akhir tahun rupiah akan berada di kisaran Rp 14.400 hingga Rp 14.700 per dolar AS.