REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI -- Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengatakan mereka ingin tetap melanjutkan dukungan kepada Arab Saudi di perang Yaman. AS juga ingin melanjutkan upaya mereka melawan pengaruh Iran dan pemberontakan di negara-negara Arab.
"Dalam sistem kami ada tekanan, entah itu menarik diri dari konflik atau menghentikan dukungan dari koalisi yang mana sangat ditentang oleh pemerintah, kami yakin dukungan untuk koalisi dibutuhkan, mengirim pesan yang salah jika kami menghentikan dukungan," kata Wakil Asisten Sekretaris Departemen Luar Negeri AS untuk Negara-negara Arab di Teluk, Timothy Lenderking, Ahad (9/12).
Sejak pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi 2 Oktober lalu di kantor konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, para senator AS menekan pemerintah menghentikan dukungan mereka terhadap Arab Saudi di perang Yaman. Pada bulan lalu, Senator-senator AS telah melakukan pemungutan suara untuk membuat resolusi agar AS menghentikan dukungan militer mereka kepada koalisi yang dipimpin Arab Saudi di Yaman.
Mereka juga meminta pemerintahan AS berhenti menjual senjata dan memberikan informasi intelijen kepada Arab Saudi. AS telah memberikan bantuan militer kepada koalisi yang dipimpin Arab Saudi di Yaman untuk memerangi pemberontak Houthi sejak 2015.
Bulan lalu. Amerika Serikat menghentikan pengisian bahan bakar kepada pesawat-pesawat yang mereka pinjamankan ke koalisi yang dipimpin Arab Saudi. Pesawat-pesawat tersebut bertanggung jawab atas kematian ribuan warga sipil di Yaman.
Kepastian untuk melanjutkan dukungan kepada koalisi Arab Saudi tersebut dinyatakan setelah ada perundingan perdamaian yang dipimpin PBB di Swedia. Pekan ini para pemimpin negara-negara Arab juga mengadakan rapat untuk membicarakan perang Yaman di Riyadh, Arab Saudi.
Lenderking mengatakan perundingan damai di Swedia menjadi langkah yang sangat penting untuk menghentikan perang yang telah menewaskan ribuan orang dan mengancam jutaan orang lainnya kelaparan. Ia mengatakan perundingan damai ini tidak akan berjalan dengan mudah.
Tapi, lanjutnya, ada sinyal perundingan tersebut berjalan dengan konstruktif. Pemerintah AS juga ingin pertemuan yang fokus pada langkah-langkah membangun kepercayaan dan transisi badan pemerintah menghasilkan sesuatu yang konkrit.
"Kami mencari arah dimana persatuan Yaman tumbuh dan stabil dibandingkan menguras stabilitas regional dan global, tidak ada masa depan di Yaman untuk ancaman yang didukung Iran terhadap Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan pusat-pusat vital perekonomian internasional," kata Lenderking.
Lenderking mengatakan koalisi yang dipimpin Arab Saudi di Yaman tidak hanya juga melawan pemberontak Houthi tapi juga Al-Qaida dan ISIS. Yaman berada di sebelah selatan muara Laut Merah, salah satu rute perdagangan minyak terpenting di dunia.
Konflik ini dikenal sebagai proxy war di Timur Tengah antara Arab Saudi dengan Iran. Pemberontak Houthi yang didukung Iran melawan pasukan yang loyal terhadap pemerintahan presiden Yaman Abd-Rabbu Monsour Hadi yang didukung koalisi yang dipimpin Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Pemberontak Houthi menguasai ibu kota Yaman, Sana'a setelah merebutnya dari pemerintahan Hadi pada 2014. Sementara pemerintahan Hadi menguasai sebelah selatan Yaman dan pusatnya di kota terbesar kedua di Yaman, yaitu Eden.
Lenderking mengatakan para ahli memperkirakan untuk bisa meraih kesepakatan damai maka 1 juta mantan pemberontak harus menyerahkan senjata merkea. Dibutuhkan juga reformasi sektor keamanan dan pemulihan infrastruktur dan perekonomian yang hancur karena perang.
"Upaya awal pemulihan sedang berjalan tapi untuk rekonstruksi penuh hanya bisa dilakukan dalam lingkungan yang damai, karena alasan itu kami ingin menutup ruang terhadap pengaruh Iran yang jahat," kata Lenderking.