REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Masyarakat yang tinggal di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat menuntut pemerintah segera memberikan hak legal atas pengelolaan hutan adat. Selama puluhan tahun, masyarakat yang tinggal di salah satu kepulauan terluar Indonesia tersebut belum memiliki payung hukum yang kuat untuk mengelola hutan.
Padahal, selama ratusan bahkan ribuan tahun masyarakat Mentawai sudah bergantung terhadap keberadaan hutan. Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) Rifai Lubis menyebutkan, dari 600 ribu hektare luas Kepulauan Mentawai, 400 ribu di antaranya adalah tutupan hutan.
Artinya aktivitas kehutanan hanya bisa dilakukan maksimal 18 persen dari total luas hutan atau 109 ribu hektare. Namun faktanya, lanjut Rifai, sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan sekalipun, masyarakat adat di Mentawai sudah menetap di sana.
"Penetapan hutan diiringi dengan konsesi dan izin kepada pihak tertentu, memulai konflik. Masyarakat tidak pernah diajak bicara. Sebanyak 200 ribu hektare lebih teralokasi untuk perusahaan. Tidak ada ada satu hektare pun yang dialokasikan secara legal untuk masyarakat," ujar Rifai, Senin (10/12).
Di Mentawai sendiri memang sudah ada beberapa perusahaan yang mengelola Hutan Tanaman Industri (HTI) sejak tahun 1970-an. Sayangnya, ujar Rifai, tidak ada manfaat ekonomi yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat hingga saat ini. Bahkan dampak lingkungan yang ada justru merugikan masyarakat secara ekonomi, seperti terjadinya banjir setiap kali hujan deras melanda.
Berdasarkan pengalaman terkait minimnya kontribusi perusahaan pengelola HTI, pemerintah daerah sebetulnya sudah memiliki inisiatif untuk mengalihkan pengelolaan hutan yang eksploitatif menjadi ke hal lain yang tak merusak. Hal utama yang dikembangkan adalah sektor pariwasata. Sektor ini juga membutuhkan syarat mutlak yakni kelestarian hutan Mentawai yang terjaga.
Penetapan hutan adat sebagai bagian dari skema perhutanan sosial di Indonesia masih terganjal minimnya aturan turunan di level pemerintah daerah (Pemda). Alasannya, penetapan hutan adat oleh pemerintah pusat baru terbit bila tersedia payung hukum berupa peraturan daerah (perda). Itu pun, satu perda harus mengatur satu hukum adat.
Salah satu contoh seretnya pengajuan status hutan adat terjadi di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Berdasarkan catatan Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar, ada dua kawasan di Mentawai yang diajukan sebagai hutan adat yakni Silok Oinan dan Tua Pejat, masing-masing memiliki luas 5.000 hektare dan 2.000 hektare.
"Mentawai ini khas. Di sana banyak uma-uma (keluarga adat yang menguasai hutan). Pusat maunya, Pemda memiliki Perda yang spesifik sebutkan hutan adat untuk masyarakat adat yang mana. Sedangkan Mentawai baru memiliki Perda hutan adat secara umum," kata Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Yozawardi.
Kabupaten Mentawai sebetulnya memiliki Perda No. 11 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (PPUMHA). Namun produk hukum ini dianggap belum cukup kuat untuk mendorong lahirnya ketetapan hutan adat di Mentawai. Sebetulnya ada celah lain agar penetapan hutan adat bisa dilakukan lebih cepat, yakni pendelegasian wewenang perhutanan sosial dari menteri kepada gubernur. Namun cara ini pun masih harus menunggu keputusan pemerintah pusat.