REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Direktorat Advokasi dan Hukum Badan Pemenangan Prabowo-Sandiaga Habiburokhman mempertanyakan aturan hak pilih bagi para penyandang disabilitas mental dalam pemilu 2019 mendatang. Ia pun
meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat aturan jelas terkait siapa penyandang disabilitas mental yang dimaksud yang berhak memperoleh suara di pemilu.
"Kriterianya seperti apa masing-masing sehingga siapa yang bisa memilih,\" kata Habiburokhman di Kantor Bawaslu, Senin (10/12).
Politikus Partai Gerindra tersebut khawatir ada ketidakjelasan dari KPU. Pasalnya KPU terkesan berstandar ganda dalam mengeluarkan aturan tersebut.
"KPU merujuk pada hasil judicial review hasil undang-undang pilkada, bukan undang-undang pemilu," ujarnya.
Ia menambahkan, perlu ada verifikasi yang jelas terkait data yang menunjukan bahwa 43 juta orang yang masuk DPT merupakan penyandang disabilitas mental. Menurutnya KPU jangan hanya bertanya kepada pihak keluarga, perlu ada institusi ang memiliki kemampuan profesional secara medis.
"Itu yang jadi kekhwatiran kita karena pada ujungnya bisa terjadi penyalahgunaan, kalau ada orang nggak milih tapi ada yang mewakili dan nggak sadar ya itu bahaya," ungkapnya.
Sebelumnya, KPU membolehkan penyandang disabilitas mental boleh menggunakan hak pilihanya dalam Pemilu 2019. Namun, ada persyaratan yang harus dipenuhi sebelum mereka menggunakan hak pilihnya.
Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan, PKPU Nomor 11 Tahun 2018 tentang penyusunan Daftar Pemilih sudah mengatur tentang memperbolehkan penyandang disabilitas mental untuk mempergunakan hak pilih. KPU juga sudah menindaklanjuti aturan ini dengan mengirimkan surat edaran (SE) tertanggal 13 November kepada KPU provinsi, kabupaten dan kota. Ditambah lagi, ada rekomendasi dari Bawaslu yang meminta untuk mengakomodasi hak pilih penyandang disabilitas mental.
"Selain itu, ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135 Tahun 2015. Gangguan jiwa atau kehilangan ingatan itu kan tidak permanen. Maka jika tidak didaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), kemudian ketika pemungutan suara sudah sembuh, mereka bisa kehilangan hak pilih," ujar Pramono ketika dikonfirmasi wartawan.
Baca juga: Menjadi Kaya dan Memperbudak Dunia
Baca juga: Soal Peristiwa Nduga, Gerindra: Semua Pihak Harus Evaluasi