REPUBLIKA.CO.ID, Filantropi di masyarakat Nusantara sudah mendarahdaging. Pada masa penjajahan Belanda misalnya, praktik filantropi Islam ini tidak mati, namun hanya dikelola oleh kaum agamis saja, pemerintahan tidak turut campur.
Antropolog Snouck Hurgronje mencatat bahwa dalam tradisi kaum Muslim di Nusantara dikenal sebuah tradisi filantropi yang paling populer, yaitu zakat fitrah.
Islam yang kemudian menjadi agama mayoritas di Nusantara membuat praktek filantropi islam semakin tumbuh subur.
“Praktik zakat, infak, sedekah, dan wakaf bisa ditemukan disemua komunitas Muslim di Indonesia dan dilaksanakan mayoritas institusi keagamaan dan lebih terfokus pada masjid dan pendidikan Islam,” tulis pakaf filantropi UIN Syafif Hidayatullah Jakarta Dr Amelia Fauzia dengan judul Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya.
Pada akhir abad ke-19 wakaf dapat ditemukan di setiap tempat yang ada komunitas Muslim. Sebagian besar wakaf adalah dalam bentuk benda yang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan.
Snouck Hurgronje memberikan rekomendasi kepada pemerintah kolonial Belanda, untuk menggunakan uang kas masjid hanya untuk kepentingan masjid, tidak untuk kepentingan sosial.
Padahal sebelumnya, kas masjid digunakan untuk kepentingan sosial seperti diberikan untuk fakir miskin, rumah piatu, sumbangan ke rumah sakit, penerangan jalan, dan direncanakan untuk pinjaman kredit, namun ditentang keras oleh Snouck Hurgronje dan akhirnya dihentikan.
Perkembangan dan kemajuan aktivitas filantropi Islam secara tidak sadar ditekan oleh konservatisme pemerintah kolonial belanda.
Walaupun pemerintah Kolonial Belanda berusaha tidak melakukan campur tangan, namun muncul kekhawatiran akan penyalahgunaan dana filantropi Islam untuk kepentingan yang melawan pemerintahan kolonial.
Untuk itu, terus dilakukan pengawasan khususnya terhadap penggunaan dana kas masjid.
Satu hal yang cukup konstruktif dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda adalah melakukan pencatatan administrasi tanah wakaf untuk menekan angka perselisihan status wakaf yang sering terjadi.
Kebijakan pemerintah, situasi politik, dan perubahan sosial memberi dinamika tersendiri bagi perkembangan filantropi dari akhir masa kolonial hingga sekarang.