REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil penerbitan sukuk hijau Indonesia tahun 2018 senilai 1,25 miliar dolar AS secara eksklusif akan didistribusikan ke proyek ramah lingkungan sesuai kerangka hijau (green framework) Republik Indonesia. Penerbitan ini didaulat sebagai sukuk hijau negara pertama di dunia dengan investor yang tersebar di seluruh dunia.
Tercatat 32 persen investor berasal dari negara-negara Islam, 25 persen dari Asia, 15 persen Uni Erpa, 18 persen Amerika Serikat, dan 10 persen dari Indonesia. Hal ini disampaikan Direktur Keuangan Syariah Kementerian Keuangan Dwi Irianti dalam diskusi di Paviliun Indonesia pada COP 24 UNFCCC di Katowice, Polandia, Senin (10/12) waktu setempat.
Dwi mengatakan, inisiatif obligasi dan sukuk hijau bertujuan untuk mendukung komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. "Green Sukuk adalah instrumen keuangan inovatif berbasis syariah untuk mendukung komitmen Indonesia dalam memerangi perubahan iklim," katanya dalam rilis yang diterima Republika, Selasa (11/12).
Sukuk negara
Diperkirakan, kebutuhan pembiayaan untuk aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tahun 2015 - 2020 mencapai 1.065 triliun atau Rp 213 triliun rupiah per tahun Sementara, dana yang dialokasikan untuk aksi mitigasi dan adaptasi tahun 2015-2019 sebesar Rp 728 triliun.
Dalam APBN 2016-2017, total alokasi anggaran untuk mitigasi perubahan iklim pada tahun 2016 dan 2017 adalah Rp 154 triliun. Sukuk hijau hadir sebagai instrumen keuangan syariah yang 100 persen dari penggunaannya secara eksklusif dikhususkan untuk membiayai proyek hijau yang berkontribusi pada kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta pelestarian keanekaragaman hayati.
Berdasarkan kerangka Hijau Indonesia, terdapat sembilan sektor yang dapat dibiayai oleh Obligasi/Sukuk Hijau. Di antaranya, energi terbarukan, pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dan pengelolaan limbah dan energi limbah.
"Inisiatif ini selaras dengan tujuan Indonesia untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan," ucap Dwi Irianti.
Sejalan dengan hal tersebut, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro menjelaskan, Indonesia kini mendorong pembangunan ekonomi rendah karbon. "Termasuk melalui pembangunan rendah emisi, efisiensi energi, meningkatkan efisiensi pertanian, mengatasi pembalakan liar," katanya.