REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Kongres Filipina pada Rabu (12/12) menyetujui perpanjangan undang-undang darurat militer di wilayah Mindanao. Status darurat militer akan diperpanjang selama 12 bulan ke depan atau hingga akhir 2019.
Keputusan ini ditetapkan setelah Presiden Filipina Rodrigo Duterte berpendapat bahwa langkah-langkah keamanan ketat harus dipertahankan untuk mencegah munculnya kembali ekstremisme.
Berdasarkan hasil pemungutan, sebanyak 235 anggota kongres setuju untuk mempertahankan pemerintahan militer di Mindanao hingga akhir 2019. Sementara 28 menolak.
Dengan adanya perpanjangan ini maka status darurat militer di Mindanao menjadi periode darurat militer paling lama di negara itu sejak era 1970-an pada masa diktator Ferdinand Marcos.
"Terlepas dari perolehan substansial yang dicapai selama masa darurat militer, kami tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa Mindanao berada di tengah-tengah pemberontakan," tulis Duterte dalam sepucuk surat kepada Kongres.
Baca juga, Pemimpin Muslim Filipina Desak UU Otonomi Mindanao.
Juru bicara Duterte dan militer berterima kasih kepada anggota parlemen setelah pemungutan suara. Mereka mengatakan hak-hak dan kebebasan sipil akan dilestarikan di bawah darurat militer yang dimaksudkan untuk mencegah kelompok-kelompok radikal berkembang di Mindanao.
Sementara itu. Anggota parlemen oposisi mengatakan perpanjangan status darurat militer itu tidak adil. Ini karena sudah tidak ada lagi pemberontakan di wilayah itu.
"Itu membuatku bertanya-tanya, apakah ini normal baru?" ujar senator Franklin Drilon pada sesi itu.
Perwakilan lembaga HAM Filipina, Edcel Lagman mengatakan sisa ISIS di Mindanao tidak dapat menghidupkan kembali pemberontakan yang telah kalah atau meluncurkan pemberontakan baru.