Rabu 12 Dec 2018 15:19 WIB

Sampai November, Realisasi DMO Baru 88 Persen

Penyerapan DMO mayoritas untuk pembangkit listrik sebanyak 82,3 juta ton.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Friska Yolanda
Kapal Tongkang pembawa batu bara melintasi aliran Sungai Batanghari di Muarojambi, Jambi, Jumat (8/6).
Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Kapal Tongkang pembawa batu bara melintasi aliran Sungai Batanghari di Muarojambi, Jambi, Jumat (8/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan realisasi penyerapan batu bara dalam negeri (domestic market obligation/DMO) hingga akhir November mencapai 100,37 juta ton. Realisasi itu sekitar 88 persen dari target DMO tahun ini yang ditetapkan sebesar 114 juta ton.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi menjelaskan meski baru 88 persen, target realisasi DMO bisa terpenuhi hingga akhir tahun. "Sampai akhir November realisasinya sudah 100,37 juta ton," ujar Agung di Kementerian ESDM, Rabu (12/12).

Kuota batu bara dalam negeri ditetapkan sebesar 25 persen dari produksi setiap tahun. Pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) diwajibkan menyisihkan 25 persen produksinya untuk alokasi DMO. Bahkan dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 23 K/30/MEM/2018 ditegaskan mengenai alokasi bagi pembangkit listrik. Dalam beleid ini pun diterapkan sanksi penyesuaian tingkat produksi 2019 bagi perusahaan yang tidak bisa memenuhi ketentuan DMO di 2018. Jumlahnya produksi yang disetujui maksimal empat kali lipat dari total realisasi volume DMO sepanjang tahun ini.

Agung menerangkan penyerapan DMO mayoritas untuk pembangkit listrik sebanyak 82,3 juta ton. Sedangkan sisanya untuk industri lain seperti semen maupun briket sebanyak 18,07 juta ton. 

Namun Agung belum membeberkan berapa banyak perusahaan yang tidak memenuhi kuota 25 persen tersebut. "Evaluasi DMO akhir tahun," ujarnya.

Kewajiban DMO untuk mayoritas bagi pembangkit listrik ini menjadi polemik. Pasalnya tidak semua produksi batu bara diserap oleh PLN. Jenis batu bara yang diserap oleh pembangkit listrik dengan kalori 4.000-4.500 kcal per kilogram (kg). Sedangkan pelaku usaha memproduksi batu bara beragam termasuk kalori rendah alias dibawah 4.000 kcal per kg dan kalori tinggi diatas 4.500 kcal per kg. Hal ini yang membuat tidak semua pelaku usaha berkontrak dengan pembangkit listrik. Namun selama ini produsen kalori rendah dan kalori tinggi sudah mengalokasinya volume produkasi ke dalam negeri untuk industri. Hanya saja dengan kewajiban DMO teranyar maka mau tidak mau harus memasok ke pembangkit listrik. 

Kementerian ESDM kemudian memberikan solusi melalui skema transfer kuota. Skema ini diserahkan kepada pelaku usaha. Artinya kesepakatan harga transfer merujuk pada business to business. Kementerian ESDM hanya menerima laporan dari kedua belah pihak yang menyepakati transfer kuota tersebut.

Meski menjadi solusi namun transfer kuota memberatkan produsen kalori rendah. Pasalnya harga batu bara tergantung jenis kalori. Semakin tinggi kalori maka harga semakin melambung. Bagi produsen kalori rendah harga kuota yang mereka beli tentunya lebih tinggi dari pada harga jual batu bara kalori rendah. Berbeda dengan produsen kalori tinggi. Harga kuota tentunya lebih rendah dari pada harga kalori tinggi.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement