Rabu 12 Dec 2018 15:36 WIB

Deddy Mizwar: Meikarta Sejak Awal Memang Kurang Beres

Deddy dimintai keterangan oleh penyidik KPK mengenai Meikarta, Rabu hari ini.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ratna Puspita
Deddy Mizwar
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Deddy Mizwar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta keterangan mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, Rabu (12/12). Deddy saat ini masih menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta terkait kasus dugaan suap pengurusan izin proyek pembangunan Meikarta, di Cikarang, Kabupaten Bekasi.

Sebelum menjalani pemeriksaan, Deddy mengakui sejak awal ia sudah merasa ada yang tidak wajar pada proyek pembangunan hunian masa depan milik Lippo Group itu. Karena itu, ia menyatakan wajar penyidik KPK meminta keterangan dirinya untuk kasus ini. “Karena saya tahu yang paling awal,” kata Deddy di Gedung KPK, Jakarta.

Deddy menerangkan, lokasi pembangunan Meikarta masuk dalam Kawasan Strategis Provinsi sehingga perlu mendapatkan rekomendasi dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Saat itu , Pemprov Jabar hanya mengeluarkan rekomendasi lahan yang dapat digunakan proyek Meikarta seluas 84,6 hektare. 

Hal tersebut sesuai dengan SK Gubernur 1993. Ia tidak tahu jika kemudian kawasan Meikarta berubah menjadi 500 hektare.

"Saya ikuti semua proses rekomendasi bukan yang di kabupaten ya, tapi di provinsi. Kan harus ada setiap kawasan strategis provinsi atau KSP harus ada rekomendasi dari provinsi. Nah makanya saya begitu dipromosikan (Meikarta),  saya katakan ini apa?" ujarnya.

Dalam kasus ini, KPK sudah menetapkan Bupati Bekasi periode 2017-2022 Neneng Hasanah Yasin (NHY) dan Direktur Operasional (DirOps) Lippo Group, Billy Sindoro (BS) sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta.

Selain Neneng dan Billy, ‎KPK juga menetapkan tujuh orang lainnya yakni, dua konsultan Lippo Group, Taryadi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), serta Pegawai Lippo Group, Henry Jasmen (HJ).

Kemudian, Kepala Dinas PUPR Bekasi, Jamaludin (J), Kepala Dinas Damkar Bekasi, Sahat ‎MBJ Nahar (SMN), Kepala Dinas DPMPTSP Bekasi, Dewi Tisnawati (DT) serta Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi, Neneng Rahmi (NR).

Sebagai pihak yang diduga pemberi suap, Billy, Taryadi, Fitra dan Henry Jasmen disangkakan melanggar Pasal‎ 5 ayat (1) huruf huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sementara yang diduga menerima suap, Neneng, Jamaludin, Sahat, Dewi disangkakan melanggar Pasal‎ 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Neneng mendapat pasal tambahan yakni diduga penerima gratifikasi dan disangkakan melanggar Pasal 12B ‎Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement