REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri Inggris Theresa May bersiap menghadapi mosi tidak percaya dari anggota partainya sendiri, Partai Konservatif, yang duduk di parlemen. Mosi itu merupakan bentuk ketidakpuasan atas kesepakatan penarikan Inggris dari Uni Eropa (Brexit) yang telah disepakati.
Pemungutan suara mosi tidak percaya terjadi setelah 15 persen anggota parlemen dari Partai Konservatif mengirim surat kepada Ketua Komite 1922 Partai Konsevatif Graham Brady dalam beberapa pekan terakhir. Komite 1922 merupakan sebuah kelompok anggota parlemen yang berpengaruh.
Menurut Brady, ambang batas dukungan yang diperlukan untuk memicu mosi tidak percaya terhadap May telah tercapai pada Selasa (11/12). Berdasarkan keterangan pers yang dirilis Komite 1922, pemungutan suara untuk mosi tidak percaya dilakukan pada Rabu (12/12), sekitar pukul 18.00-20.00 waktu Inggris.
Pada Rabu pagi, sebanyak 110 anggota parlemen dari Partai Konservatif telah secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap May. Dia membutuhkan mayoritas sederhana untuk memenangkan mosi kepercayaan, yakni sebanyak 158 dukungan dari 315 anggota parlemen Partai Konservatif.
May telah menyatakan akan mengerahkan seluruh upaya untuk menghalau mosi tidak percaya terhadap dirinya. "Saya akan menentang semua suara itu dengan semua yang saya punya," kata dia, dikutip laman BBC, Rabu (12/12).
Mosi tidak percaya memang membahayakan posisi May sebagai perdana menteri dan pemimpin Partai Konservatif. Dalam konteks ini, May harus mengundurkan diri dari jabatannya. Dia pun harus melepaskan posisinya sebagai pemimpin Partai Konservatif.
May berpendapat, proses Brexit sangat berisiko jika perubahan kepemimpinan terjadi. "Rakyat Inggris ingin kita melanjutkannya (Brexit) dan mereka ingin kita fokus pada hal-hal lain yang penting bagi mereka juga," ujarnya, dikutip laman CNBC.
Kendati demikian, May menerima dukungan dari para menteri kunci di kabinetnya. Termasuk dari mereka yang dipandang sebagai calon pemimpin Partai Konservatif, seperti Menteri Lingkungan Michael Gove.
Jacob Raes-Mogg, salah satu anggota parlemen yang mengirim surat mosi tidak percaya terhadap May mengatakan, sekarang adalah tugas May untuk mengundurkan diri. "Biasanya ketika seorang perdana menteri kehilangan kebijakan utamanya, dia mengundurkan diri, itu adalah konvensi konstitusional utama, mereka tidak terus melanjutkannya," kata dia.
Dia menilai, perdana menteri hanya memegang jabatan selama dia mempertahankan kepercayaan House of Commons. "Saya pikir (saat May mengumumkan penundaan pemungutan suara terkait Brexit di parlemen pada Senin lalu) perdana menteri kehilangan itu dan harus mengundurkan diri," ujar Raes-Mogg.
Kesepakatan Brexit May telah menuai kritik dan keras, tidak hanya dari kalangan oposisi, tapi juga dari politisi di tubuh Partai Konservatif. Salah satu penyebabnya adalah backstop Irlandia Utara.
Saat Inggris hengkang dari Uni Eropa pada Maret 2019, kedua belah pihak akan menjalani periode negosiasi selama 21 bulan untuk mencapai kesepakatan perdagangan. Jika hal itu tidak terjadi, backstop akan ditendang. Dengan demikian, tidak akan ada perbatasan keras antara Irlandia dan Irlandia Utara. Hal itu tak disepekati sengaian besar masyarakat Inggris.
Kemudian keputusan May untuk menunda pemungutan suara di parlemen, yang dikenal sebagai "meaningful vote", dilakukan saat kesepakatan Brexit, setidaknya dalam bentuk saat ini, tidak akan disetujui parlemen Inggris. Padahal persetujuan parlemen sangat dibutuhkan untuk melancarkan kesepakatan Brexit yang telah dicapai May dengan Uni Eropa.