REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Zainut Tauhid mengatakan, MUI akan mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan uji materi Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terkait batas usia perkawinan anak. Menurut dia, putusan MK tersebut berpotensi menimbulkan polemik karena menyangkut hal yang sangat sensitif.
"Untuk hal tersebut MUI akan membentuk sebuah tim yang akan melakukan penelitian dan pengkajian terhadap putusan tersebut dan pada saatnya nanti MUI akan memberikan pendapat dan pandangan secara konprehensif," ujar Zainut dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/12).
Dia pun mengingatkan kepada semua pihak bahwa UU nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bagi umat Islam bukan hanya sekedar mengatur norma hukum positif dalam perkawinan. Hukum tersebut juga mengatur sah dan tidaknya sebuah pernikahan menurut ajaran agama Islam.
"UU tersebut memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi dan ikatan emosional dengan umat Islam, sehingga kami mengimbau kepada semua pihak untuk bersikap arif dan berhati-hati jika berniat untuk mengubahnya," kata Zainut.
Sebelumnya diberitakan, MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi UU 1/1974 tentang Perkawinan yang mengatur batas usia perkawinan anak. Dalam pertimbangan putusan, disebutkan bahwa perbedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan bisa menimbulkan diskriminasi.
"Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (13/12).
Diketahui, ketentuan tentang batas usia perkawinan digugat sekelompok warga negara yang merasa dirugikan dengan perbedaan batas usia laki-laki dan perempuan. Dalam pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan mengatur batas minimal usia perkawinan laki-laki adalah 19 tahun sementara perempuan adalah 16 tahun.
MK menilai beleid tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak. Dalam UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Sehingga, batas usia yang diatur dalam UU Perkawinan masih berkategori sebagai anak.
Masih dalam pertimbangan hakim, perkawinan anak dinilai sangat mengancam dan berdampak negatif terutama pada aspek kesehatan. Selain itu, peluang terjadinya eksploitasi dan ancaman kekerasan juga lebih tinggi pada anak. Aturan tersebut juga menimbulkan perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan.
Hakim Anggota I Gede Palguna mengatakan MK tak bisa menentukan batas usia perkawinan yang tepat bagi perempuan. Menurutnya, hal tersebut merupakan kewenangan DPR sebagai pembentuk UU.
"Meminta pembuat UU paling lama tiga tahun untuk melakukan perubahan tentang perkawinan, khususnya berkenaan dengan batas usia minimal perempuan dalam perkawinan," ucapnya.