Senin 17 Dec 2018 00:07 WIB

Polisi Pukuli Wartawan dalam Unjuk Rasa Kebebasan Pers

Polisi Nikaragua memukuli sedikitnya tujuh wartawan dengan tongkat

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Esthi Maharani
Polisi bersenjata Nikaragua berjaga di wilayah Masaya, Nikaragua, Jumat (13/7). Setidaknya hampir 300 orang meninggal sejak 19 April saat munculnya aksi demonstrasi yang meminta pengunduran diri Presiden Daniel Ortega.
Foto: AP Photo/Cristobal Venegas
Polisi bersenjata Nikaragua berjaga di wilayah Masaya, Nikaragua, Jumat (13/7). Setidaknya hampir 300 orang meninggal sejak 19 April saat munculnya aksi demonstrasi yang meminta pengunduran diri Presiden Daniel Ortega.

REPUBLIKA.CO.ID, MANAGUA - Polisi Nikaragua memukuli sedikitnya tujuh wartawan dengan tongkat, termasuk salah satu editor media massa paling terkenal di negara itu, Carlos Fernando Chamorro. Insiden tersebut terjadi dalam aksi protes wartawan terhadap Presiden Nikaragua Daniel Ortega terkait kebebasan pers, pada Sabtu (15/12).

Sebelumnya, di awal pekan ini polisi telah mengambil alih kantor Chamorro. Mereka juga merebut sejumlah bangunan yang digunakan oleh beberapa organisasi masyarakat sipil yang telah dilarang.

Dalam aksi unjuk rasa itu, para wartawan berkumpul di luar markas polisi di ibu kota Managua. Chamorro meminta polisi memberi informasi mengenai pengambilalihan kantornya secara ilegal, dan penyitaan alat-alat kerjanya.

Setelah menyampaikan permintaan itu, polisi anti-huru hara muncul dari dalam markas polisi dan mengayunkan tongkat mereka. Chamorro dan rekan-rekannya bersama sejumlah wartawan lain yang meliput unjuk rasa tersebut, terkena pukulan tongkat dan tendangan polisi.

Seorang saksi dari Reuters menghitung sedikitnya ada tujuh wartawan dari media internasional dan nasional, termasuk Chamorro, yang ditangkap dan ditendang oleh polisi. Polisi mengejar wartawan lainnya, dengan menyebut mereka 'komplotan kudeta' dan mengancam akan menyita ponsel serta peralatan mereka.

"Tiga petugas memukuli saya. Mereka menendang kaki saya dan mencoba menjatuhkan saya," kata Nestor Arce, seorang wartawan di mingguan Confidencial.

Sejak April lalu, Nikaragua tengah mengalami salah satu krisis terburuknya sejak perang saudara pada 1980-an. Aksi protes terjadi selama berbulan-bulan, sampai akhirnya pemerintah melakukan tindakan keras untuk mengekang mereka.

Menurut Pusat Hak Asasi Manusia Nikaragua, salah satu organisasi yang dilarang pemerintah, sedikitnya 322 orang telah tewas dan lebih dari 500 lainnya dijebloskan ke penjara selama periode itu.

Ana Maria Tello, yang bekerja di Inter-American Commission on Human Rights' (IACHR) di Nikaragua, menyatakan keprihatinannya atas pengekangan terhadap LSM, media independen, dan wartawan.

Pemerintahan Ortega tidak menanggapi permintaan untuk komentar tentang kekerasan yang dilakukan polisi terhadap wartawan. Ortega hanya menyebut aksi protes itu sebagai upaya kudeta.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement