REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan hakim belum fokus pada pencucian uang dan perampasan dalam penindakan hukum kepala daerah koruptor. Hal ini ditunjukkan dengan sedikitnya jumlah yang penindakan TPPU dan hasil rampasan dari kerugian negara yang mencapai 9,7 triliun.
"Tindak pidana pencucian uang dan perampasan aset belum jadi fokus oleh KPK dan hakim," kata Peneliti ICW Wana Alamsyah di Kalibata, Jakarta Selatan, Ahad (16/12).
Wana memaparkan, dari 104 kepala daerah yang terlibat korupsi sejak 2004 hingga 2018, hanya tiga kepala daerah yang dîjerat dengan UU nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Nilai pencucian uang dalam tiga kasus itu Rp 509 miliar. Sementara kerugian negara yang muncul akibat korupsi mencapai Rp 9,7 triliun.
Menurut Wana, salah satu tujuan penindakan korupsi adalah untuk memiskinkan koruptor dengan menelusuri aset yang dimiliki koruptor. Sehingga penegak hukum dapat merampas aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Namun, hal ini menurut dia belum diterapkan KPK.
Kemudian, terkait perampasan aset kepala daerah koruptor, ICW juga menilai KPK pun tak serius. Dari 104 orang terdakwa, KPK menuntut 35 orang dengan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 503 miliar. Padahal kerugian negara mencapai Rp 9,7 triliun.
"Artinya KPK sampai saat ini baru berupaya merampas aset koruptor sekitar lima persen dari total uang korupsi," ujar Wana.
Dari 35 tuntutan itu, lanjut Wana, Hakim bahkan hanya menyetujui 31 orang. Sehingga, jumlah rampasan menyusut, dari Rp 503 miliar ke Rp 396 miliar. "Hal ini menjadi indikator, bahwa baik KPK serta hakim pun belum memiliki fokus pada upaya perampasan aset," ujar Wana lagi.