Senin 17 Dec 2018 12:31 WIB

Demonstrasi Terbesar Rakyat Hungaria Tuntut Demokrasi

Pemerintahan Perdana Menteri Viktor Orban dinilai semakin otoriter.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban
Foto: independent.co.uk
Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban

REPUBLIKA.CO.ID, BUDAPEST -- Ribuan rakyat Hungaria turun ke jalan Budapest untuk keempat kalinya pada pekan ini. Unjuk rasa pada Ahad (16/12) itu juga menjadi unjuk rasa terbesar menentang semakin otoriternya perdana menteri dari sayap-kanan Viktor Orban.

Menantang suhu udara di bawah nol derajat, para pengunjuk rasa menyalakan api unggun, flares, dan mengibarkan bendera Hungaria dan Uni Eropa. Sekitar 10 ribu orang berjalan dari monumen pahlawan menuju gedung parlemen. Stasiun televisi setempat menyebut untuk rasa tersebut 'Selamat Natal, Pak Perdana Menteri'.

Unjuk rasa tersebut awalnya berjalan dengan damai sampai polisi menembakkan gas air mata, yang membuat para pengunjuk rasa berjejalan di luar stasiun televisi sampai larut malam. Sebuah video menunjukkan pengunjuk rasa berjongkok dan terbutakan oleh gas air mata.

Unjuk rasa ini diorganisir oleh partai oposisi, mahasiswa, dan serikat dagang. Mereka menuntut kebebasan pers, mencabut hukum yang menambah jam kerja, dan independensi peradilan. "Yang saya inginkan untuk Natal adalah Demokrasi," tulisan dalam salah satu spanduk dalam unjuk rasa itu.

Ratusan polisi anti-huru hara mengawal unjuk rasa terbesar sejak Orban naik ke tampuk kekuasaan pada 2010 lalu. Ia menguasai parlemen dan menekan pengadilan, media serta Lembaga Swadaya Masyarakat.

Perdana menteri Hungaria tersebut menyebut dirinya sebagai penyelamat kristen Hungaria. Menahan pengaru imigran Muslim yang masuk ke Eropa. Ia memenangkan masa jabatan ketiganya pada awal tahun ini.

Pada Sabtu (15/12) partai Orban yakni Fidesz mengatakan unjuk rasa ini didalangi 'para kriminal'. Mereka juga menuduh miliuner Amerika-Hungaria George Soros yang memicu unjuk rasa ini.

Soros kerap melontarkan kritikan keras terhadap Orban. Tapi, ia membantah tuduhan yang ditunjukan kepadanya. Menurutnya, tuduhan tersebut sebuah kebohongan untuk menciptakan musuh eksternal palsu.

Pada Ahad malam, beberapa anggota legislatif partai oposisi meminta dapat masuk ke dalam stasiun televisi untuk membaca petisi yang diajukan pengunjuk rasa. Tapi, petugas keamanan mengatakan kepada mereka hal tersebut mustahil untuk dilakukan.

"TV berbohong," teriak para pengunjuk rasa. Stasiun televisi dianggap sebagai juru bicara pemerintahan. Mereka juga meneriakkan kata-kata anti-partai Fidesz.

"Ketidakpuasan terus berkembang, mereka sudah meloloskan dua undang-undang pada pekan ini, tidak melayani kepentingan rakyat Hungaria," kata Andi, seorang mahasiswa sosiologi.

Ia mengutuk undang-undang tenaga kerja baru yang disebut sebagai 'hukum budak'. Orban juga membentuk pengadilan baru untuk isu-isu sensitif seperti pemilihan umum, protes dan korupsi. Akhir-akhir ini Orban sering kali bentrok dengan Uni Eropa karena kebijakan-kebijakannya.

Orban mengubah sistem pemilihan umum agar bisa menguntungkan Fidesz dan membuat para loyalisnya menambah harta kekayaan mereka sendiri. Tapi ia jarang membuat pemilihan mayoritas marah dan oposisinya lemah serta terfregmentasi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement