REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Akun Facebook milik putra Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Yair Netanyahu, telah diblokir Facebook. Hal itu terjadi setelah dia mengunggah pernyataan anti-Muslim.
"Tidak akan ada perdamaian di sini (di Israel-Palestina) sampai: 1) Semua orang Yahudi meninggalkan tanah Israel. 2) Semua Muslim meninggalkan tanah Israel. Saya lebih suka opsi kedua," kata Yair Netanyahu melalui akun Facebook pribadinya pada Kamis pekan lalu, dikutip laman Middle East Monitor, Senin (17/12).
Unggahan Yair seketika menuai banyak respons dari masyarakat Israel. Mayoritas dari mereka yang menanggapi setuju dengan pernyataanya.
Yair kemudian melanjutkan unggahan anti-Muslimnya. "Apakah Anda tahu di mana tidak ada serangan teror? Di Islandia dan Jepang. Kebetulan juga tidak ada penduduk Muslim di sana," ujarnya.
Menurut Haaretz, Yair juga sempat menyerukan aksi balas dendam atas dua tentara Israel yang tewas dalam aksi penggusuran warga Palestina. Setelah serangkaian unggahan itu, Facebook kemudian memblokir akun milik Yair. Dia dinilai telah melanggar aturan dan kebijakan Facebook.
Pemberitahuan tentang pemblokiran itu kemudian diunggah Yair di akun Twitter-nya. "Luar biasa. Facebook memblokir saya selama 24 jam hanya karena mengkritiknya! Pikiran polisi," katanya.
Keluhan Yair dipandang ironis mengingat hukuman yang dijatuhkan Israel kepada warga Palestina akibat konten Facebook mereka. Baru-baru ini, Pengadilan Yerusalem menjatuhkan hukuman kepada Suzanne Abu Ghannam, ibu seorang warga Palestina yang dibunuh tentara Israel tahun lalu.
Dia divonis 11 bulan penjara karena dianggap menghasut dan memprovokasi melalui Facebook. Pada September, penyiar Palestina Dareen Tartour, dibebaskan setelah dipenjara selama tiga tahun. Tartour dibui karena menerbitkan puisi berjudul "Lawan, rakyatku, lawan" di akun media sosialnya.
Puisi itu dipandang Israel sebagai sebuah hasutan dan provokasi agar masyarakat Palestina memberontak terhadapnya. Kasus Tartour sempat menyita perhatian dunia internasional karena Israel dianggap memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat.