REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR RI Misbakhun mengatakan, pemerintah tidak perlu tergesa-gesa dan panik untuk memberikan insentif ekspor kepada para pengusaha. Sebab, kemudahan yang selama ini diberikan sudah mencukupi. Termasuk di antaranya dalam mendapatkan kredit ekspor yang melancarkan proses pengusaha dalam mengirimkan barang ke negara tujuan.
Selain itu, Misbakhun menambahkan, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) juga sudah memberikan kemudahan kredit, khususnya ke industri kecil dan menengah (IKM) berorientasi ekspor. "Itu sudah menunjukkan, betapa berpihaknya pemerintah terhadap eksportir," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (18/12).
Dengan segala insentif fiskal dan nonfiskal yang sudah ada, Misbakhun menekankan, kini tugas pengusaha untuk berusaha mengembangkan ekspor. Mereka harus mencari ceruk pasar yang bagus, menjangkau pasar non tradisional dan membuat barang lebih berkualitas. Spesifikasi produk pun dituntut untuk lebih unik, termasuk dari segi pemasaran.
Hanya saja, Misbakhun mengakui, kerja pengusaha kini memang harus ekstra keras. Sebab, situasi perdagangan internasional sudah berubah seiring dengan perang dagang Amerika dan Cina. "Tantangan ini harus dijawab pengusaha dengan insentif yang sudah diberikan," tuturnya.
Misbakhun menambahkan, defisit neraca perdagangan yang terjadi pada November 2018 tidak sepatutnya ditanggapi dengan rekomendasi pemberian insentif ekspor. Defisit itu bersifat situasional karena menjelang pemilihan umum.
Baca juga, Pengusaha Ingin Lebih Banyak Kemudahan Ekspor
Misbakhun menjelaskan, apabila dilihat sejarahnya, posisi neraca perdagangan memang selalu defisit besar pada tahun-tahun menjelang pemilu, termasuk penurunan ekspor Misalnya, pada 2003, 2008 dan 2013. "Paling banyak dikarenakan investasi modal mengalami penurunan karena menahan diri, menunggu masa ketidakpastian itu selesai," ucapnya.
Misbakhun mengingatkan, apabila insentif ekspor terus diberikan kepada pengusaha, justru bisa menimbulkan kontra produktif saat kondisi kembali normal. Misalnya, industri menjadi lebih manja dengan segala kemudahan yang diberikan pemerintah sehingga daya kemampuan kompetisinya menurun.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho mengatakan, insentif ekspor tetap harus diperhatikan dengan seksama. Sebab, kebijakan ini bisa saja akan meningkatkan impor yang besar.
Andry mengatakan, industri di Indonesia pada dasarnya lemah di sektor hulu yang diperlihatkan melalui besarnya impor bahan baku. "Hal ini menunjukkan, ada kecenderungan ekspor yang nantinya meningkat akan diikuti dengan impor yang juga meningkat. Pun apabila nantinya ada insentif ekspor," tuturnya.
Jika ini yang terjadi, Andry mempertanyakan keinginan pemerintah. Apakah ingin menjaga surplus neraca perdagangan melalui peningkatan ganda di ekspor dengan konsekuensi naiknya impor atau hanya ingin menekan impornya saja.
Apabila menekan impornya saja, Andry mengingatkan pemerintah dan industri untuk berhati-hati. Sebab, banyak dari barang ekspor dibuat oleh bahan baku impor. "Bisa jadi impor ditekan, ekspornya justru mandek," katanya.
Andry mengakui, insentif ekspor untuk para pengusaha ini adalah sesuatu yang urgent. Tapi, pemerintah juga harus melihat fasilitasi seperti menyiapkan kerjasama-kerjasama perdagangan baru untuk pasar baru selain pasar besar Indonesia seperti Cina dan Amerika. Indonesia perlu mencari alternatif pasar baru untuk memasarkan produknya karena saat ini kita juga terdampak oleh perang dagang dua raksasa tersebut.