Selasa 18 Dec 2018 20:47 WIB

Virus Demam Babi Afrika Mewabah di 22 Provinsi Cina

Virus demam babi belum menjangkiti manusia.

Red: Nur Aini
Babi, ilustrasi
Foto: pixabay
Babi, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Orang-orang di Cina sulit mengatasi virus demam babi Afrika atau African Swine Fever (ASF) yang cepat menyebar. Lebih dari 600 ribu babi telah dimusnahkan di 22 provinsi di negara itu sejak Agustus.

Kementerian Pertanian dan Urusan Pedesaan mengatakan ada 87 wabah terkonfirmasi yang diidentifikasi di Cina, produsen daging babi terbesar di dunia. Virus itu pertama kali terdeteksi di provinsi Liaoning timur laut dan kini telah mencapai peternakan di luar kota-kota besar seperti Shanghai dan Beijing.

Pemusnahan lebih dari 600 ribu babi menjelang perayaan Tahun Baru Imlek, dan khususnya karena Zodiak Cina memasuki tahun babi, juga telah menimbulkan kekhawatiran tentang apakah daging babi akan kekurangan pasokan. Diperkirakan ada sekitar 680 juta babi di Cina, yang menyumbang lebih dari separuh produksi daging babi dunia.

Tahun ini saja, ada lebih dari 360 ribu kasus global ASF di 19 negara, termasuk wabah besar di Rusia, Rumania, dan Pantai Gading. Menurut Pusat Keamanan Pangan dan Kesehatan Masyarakat AS (CFSPH), walau virus tersebut tidak berbahaya bagi manusia, belum ada pengobatan yang ditemukan dan jenis virus tertentu memiliki tingkat kematian 100 persen pada babi.

Menurut CFSPH, ASF bisa ditularkan melalui kontak langsung, sanitasi yang buruk, serangga, dan bahkan melalui daging olahan. Penyakit ini, diyakini, pertama kali menyebar dari Afrika ke Georgia dalam produk daging babi olahan yang terkontaminasi dengan penyakit.

Petugas kesehatan hewan, Dr Peter Saville, dari Departemen Industri Primer Wilayah Utara Australia (NT), mengatakan bulan lalu bahwa meski babi hidup tak diizinkan masuk ke Australia, ada kekhawatiran jenis ASF saat ini bisa menyebar ke Australia melalui produk babi olahan seperti dendeng babi.

"Pelancong ke Cina dan warga yang kembali dari Cina sering membawa oleh-oleh makanan, dan seringkali barang-barang ini mengandung daging babi," kata Dr Saville, seraya menambahkan bahwa Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang telah mendeteksi virus dalam produk yang masuk dari Cina.

"Ini bisa menyebar dan bertahan dalam makanan olahan selama berbulan-bulan ... itu bisa bertahan dari semprotan disinfektan, suhu tinggi, suhu rendah dan sinar ultraviolet, sehingga tidak sensitif seperti kebanyakan virus."

Epidemi biasanya terkendali

Selain memusnahkan hewan, Kementerian tersebut juga melarang pemberian babi dengan sisa makanan, menghentikan pengangkutan babi hidup dari daerah yang terkena dampak, dan mengkarantina peternakan yang terkena dampak, tetapi virus itu masih berhasil menyebar.

Terlepas dari wabah yang cukup besar, kepala biro peternakan dan hewan di Departemen Pertanian dan Urusan Pedesaan, Feng Zhongwu, mengatakan situasinya masih terkendali.

"Wabah demam babi Afrika (ASF) saat ini di negara ini ditemukan di tempat-tempat yang tersebar, itu bukan pandemi," kata Feng.

Kementerian telah menganggap situasi ini "pada umumnya di bawah kendali" pada bulan September, ketika kasus ini baru teridentifikasi di lima provinsi. Feng menambahkan bahwa "setiap wabah dimusnahkan dengan cepat, di-disinfeksi dan dibuat tak berbahaya" sementara penyelidikan dan analisis yang tepat telah dilakukan.

Ia mengatakan mayoritas wabah telah disebabkan oleh kegagalan untuk men-disinfeksi dengan benar kendaraan yang digunakan untuk mengangkut babi dari peternakan, atau melalui pemberian makan babi dengan sisa-sisa makanan di dapur.

Harga daging babi diperkirakan melonjak

Meluasnya ASF atau wabah demam babi di Cina ini terjadi hanya beberapa bulan sebelum dimulainya tahun babi pada 5 Februari. Bakso, sosis, dan siomay babi adalah hidangan populer dan permintaan akan makanan itu menjadi tinggi selama perayaan tahun baru Cina.

Namun meskipun daging babi menjadi protein utama dalam banyak masakan Cina, Feng mengatakan ia yakin bahwa industri itu tidak akan melihat penurunan pasokan untuk perayaan tahun baru.

"Produksi babi nasional kami adalah 680 juta, oleh karena itu, tidak akan ada dampak pada pasokan untuk dua festival [Tahun Baru Masehi dan Tahun Baru Cina Imlek]," katanya.

Berbicara kepada publikasi keuangan yang didukung Pemerintah, Caixin, seorang pejabat dari Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional China (NDRC) mengatakan harga daging babi bisa naik karena wabah yang sedang berlangsung.

"Jika wabah demam babi Afrika tak bisa dikendalikan secara efektif atau bahkan menyebar lebih lanjut setelah Tahun Baru Imlek, daging babi akan kekurangan pasokan karena para peternak tidak akan bersedia untuk mengisi kembali ternak mereka," ujar Lu Yanchun, kepala pusat pemantauan harga di NDRC, kepada Caixin.

Lu menambahkan bahwa harga daging babi mungkin mengalami lompatan besar selama musim panas atau paruh kedua 2019. Di media sosial Cina harga daging babi dilihat sebagai masalah utama. Satu pengguna Weibo dari provinsi Sichuan yang menyatakan bahwa daging babi di wilayah tersebut telah meningkat dari 3 yuan (atau setara Rp 6.100) menjadi sekitar 15 yuan (atau setara Rp 30 ribu) per 500 gram tahun ini karena masalah demam babi.

Tidak seperti virus flu babi mematikan yang terkenal, ASF belum menular ke manusia dan tetap terikat pada babi dan babi hutan. Menurut sebuah kajian oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, epidemi flu babi 2009 menewaskan antara 151.700 dan 575.400 orang.

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2018-12-18/virus-demam-babi-afrika-telah-menyebar-ke-22-provinsi-di-china/10632860
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement