REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Holding Industri Pertambangan Inalum akan membayar 3,85 miliar dolar AS atau Rp 55,8 triliun untuk meningkatkan kepemilikannya di PT Freeport Indonesia (PTFI) dari 9.36 persen menjadi 51.2 persen. Harga yang dibayar ini menjadikan Inalum sebagai pengendali perusahaan tambang dengan deposit emas terbesar di Papua tersebut.
Namun apakah harga tersebut mahal? Pada tahun 2017, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) pernah melakukan proyeksi harga dan hasilnya lebih mahal dari kesepakatan Inalum dengan perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan, pengendali PTFI saat ini.
Menurut studi IAGI, harga untuk menjadi mayoritas diperkirakan sebesar 4,5 miliar dolar AS atau Rp 65 triliun. Pada tahun 2015, Freeport McMoran mengajukan harga 12.15 miliar dolar AS untuk meningkatkan kepemilikan Indonesia menjadi 51 persen kepada Kementerian ESDM, yang kemudian ditawar menjadi 4,5 miliar dolar AS.
Angka hasil valuasi konsultan keuangan Morgan Stanley di awal tahun adalah 4.67 miliar dolar AS, namun ditawar hingga akhirnya dilepas seharga 3,85 miliar dolar AS.
“Kalau diteliti dari aspek apa pun. Angka 3,85 miliar dolar AS yang dibayarkan Inalum terbilang murah,” kata pengamat kebijakan publik dari Koalisi Pejuang Hak Atas Sumber Daya Alam, Thomas Jan Bernadus pada Rabu (19/12).
Menurut Thomas, harga yang dibayar itu bukan berarti Inalum membeli tanah air sendiri. Yang dibeli adalah perusahaan, bukan cadangan yang dimiliki oleh PTFI. PTFI sudah mengantongi izin komersil untuk menambang di Grasberg sejak 51 tahun yang lalu.
"Ini merupakan kesepakatan busines-to-business (B2B) sehingga penyelesaiannya juga dilakukan melalui pendekatan komersial,” kata Thomas.
Thomas mengatakan kontrak Freeport tidak sama dengan apa yang berlaku di sektor minyak dan gas (migas), yang jika konsesi berakhir maka akan secara otomatis dimiliki pemerintah dan dikelola oleh Pertamina. Dalam peralihan disektor migas pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeser pun karena aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah setelah sebelumnya membayar kontraktor lewat skema cost recovery senilai miliaran dollar AS per tahunnya.
Berdasarkan materi dengar pendapat antara Inalum dan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, dengan membayar 3.85 miliar dolar AS, Inalum akan mendapatkan kekayaan tambang senilai lebih dari 150 miliar dolar AS atau Rp 2,400 triliun hingga 2041. Laba bersih PTFI juga diperkirakan sebesar 2 miliar dolar AS per tahun setelah 2022 nanti.
Jika nilai laba tersebut dijumlahkan hingga akhir waktu pengembangan tambang pada 2041, setidaknya Indonesia akan mendulang laba bersih lebih dari 36 miliar dolar AS atau sekitar Rp 533 triliun sejak 2019 hingga 2041.