Rabu 19 Dec 2018 15:52 WIB

Harapan Baru Bagi Orangutan Kalimantan

Setiap tahun 2.000-3.000 orangutan tewas karena dianggap pencuri panen.

Red: Nur Aini
Orangutan liar terlihat di Taman Nasional Tanjung Puting
Foto: Republika/Hazliansyah
Orangutan liar terlihat di Taman Nasional Tanjung Puting

REPUBLIKA.CO.ID, SAMARINDA -- Ketika ribuan orangutan dibunuh setiap tahun sebagai dampak dari industri kelapa sawit dan perburuan liar, kini muncul harapan baru bagi spesies ini di hutan Kalimantan.

Empat anak orangutan yang kehilangan induknya yaitu Gondar, Tegar, Kartini, dan Gerhana serta para pendamping yang bertindak sebagai ibu pengganti, saat ini belajar memanjat ke puncak pepohonan di Orangutan Forest School. Organisasi perlindungan hewan Four Paws, yang memiliki 14 kantor di seluruh dunia termasuk Australia, merehabilitasi anak-anak orangutan ini.

Mereka merupakan korban rusaknya habitat dalam skala besar akibat industri kelapa sawit, industri kayu dan batu bara.

"Setiap tahun, dua hingga tiga ribu orangutan tewas karena dianggap sebagai 'pencuri panen'. Mereka juga diburu untuk dagingnya. Anak-anak mereka sering diperdagangkan sebagai hewan peliharaan," kata Jeroen van Kernebeek, Direktur Four Paws Australia.

Four Paws membuka Orangutan Forest School di Kalimantan Timur pada Mei 2018. Sekolah ini ditangani ahli primata dan manajer proyek Dr. Signe Preuschoft dibantu 15 pengasuh hewan dari Indonesia, seorang ahli biologi dan dua dokter hewan. Mereka merawat delapan anak orangutan berusia antara 16 bulan dan sembilan tahun, sebelum dilepasliarkan kembali ke hutan.

"Sebagai bagian dari program ini, Orangutan Forest School mengajarkan semua keterampilan yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup di alam liar," kata Van Kernebeek.

Keempat anak yatim orangutan yaitu Gondar, Tegar, Kartini dan Gerhana, telah mulai pelajaran memanjat bersama dengan ibu pengganti mereka.

 

"Salah satu prinsip kami di Orangutan Forest School yaitu kami tidak memanusiakan orangutan, tetapi mengorangutankan manusia," kata Dr Preuschoft.

"Artinya, kami tidak membawa anak-anak yatim orangutan ini ke tanah, tapi mengirim manusia ke atas pohon," ujarnya.

Untuk mencapai hal ini, para ibu pengganti harus belajar memanjat pohon. Organisasi asal AS, Tree Monkey Project mengirim tim pendaki profesional ke Kalimantan untuk melatih mereka.

"Orangutan terkadang bisa memanjat dan tidak bisa turun," kata Dr. Preuschoft.

"Tahun lalu, itu yang terjadi pada Gonda, yang baru berusia satu tahun saat itu. Dia memanjat terlalu tinggi bagi kami. Kemudian dia tidak berani turun lagi. Ibu penggantinya terus memanggil dia turun dan butuh waktu sangat lama sampai Gonda memiliki keberanian turun sendiri," ujarnya.

"Kami melakukannya lebih seperti ibu orangutan sendiri," katanya.

"Kami memandu dan hadir saat mereka menjelajahi berbagai hal. Sangat penting bagi anak orangutan untuk selalu dapat kembali ke pangkuan ibunya. Jika sudah mempercayai hal ini, mereka bisa sangat berani dan ingin tahu," kata Dr Preuschoft.

Menurut dia, orangutan ini tak akan tergantung pada manusia selama sisa hidup mereka, tetapi akan hidup mandiri dan membentuk ikatan dengan sesamanya di alam liar.

Sejak berusia sekitar dua tahun, anak-anak orangutan diikutkan Orangutan Forest School. Ketika mencapai usia pubertas, mereka siap untuk lulus dari sekolah ini.

Tim Four Paws akan melepasliarkan mereka berdasarkan pertimbangan kasus per kasus untuk setiap orangutan.

Orangutan Forest School merupakan kerja sama antara Four Paws, LSM lokal Jejak Pulang, dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup RI yang menyediakan 100 hektare lahan untuk sekolah tersebut.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2018-12-19/harapan-bagi-masa-depan-orangutan-di-kalimantan/10635490
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement