REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memproyeksikan, pertumbuhan industri non-migas dapat tumbuh 5,4 persen pada 2019. Sektor-sektor yang diproyeksikan tumbuh tinggi, di antaranya industri makanan dan minuman (9,86 persen), permesinan (7 persen), tekstil dan pakaian jadi (5,61 persen), serta kulit barang dari kulit dan alas kaki (5,40 persen)
Selain itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menuturkan, pemerintah juga memacu di sektor kimia. Yakni dengan menggenjot produksi olefin dari methanol di Kawasan industri Teluk Bintuni, Papua Barat dengan nilai investasi 2,6 miliar dolar AS.
"Ditargetkan dapat berproduksi dengan kapasitas 2 juta ton per tahun dan mulai beroperasi tahun 2021," katanya dalam rilis yang diterima Republika, Rabu (19/12).
Sedangkan di cluster Cilegon akan menghasilkan naphtha cracker dari dua perusahaan, yakni Chandra Asri Petrochemical dan Lotte Chemical. Total kapasitasnya mencapai 4,5 juta ton per tahun yang akan mulai beroperasi secara bertahap pada 2019 hingga 2023.
Pada 2019, Kemenperin akan fokus memacu kinerja lima sektor industri yang mendapat prioritas pengembangan sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0. Lima sektor tersebut, yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronika, dan kimia.
Airlangga mengatakan, pada 2019, pemerintah akan genjot sektor tersebut agar mampu meningkatkan ekspor, terutama yang punya kapasitas lebih. "Selain itu dapat mendorong pengoptimalan tingkat komponen dalam negeri (TKDN)," katanya.
Airlangga menuturkan, langkah mendongkrak kinerja industri manufaktur berorientasi ekspor menjadi perhatian utama pemerintah guna memperbaiki neraca perdagangan sehingga semakin memperkuat struktur perekonomian nasional. Terlebih, selama ini produk manufaktur sebagai kontributor terbesar pada nilai ekspor kita.
Airlangga memperkirakan, nilai ekspor dari industri pengolahan non migas hingga akhir 2018 nanti diperkirakan menembus 130,74 miliar dolar AS. Capaian ini meningkat dibanding tahun sebelumnya sebesar 125,10 miliar dolar AS.
"Saat ini, ekspor produk industri telah memberikan kontribusi 72,28 persen dari total ekspor nasional," ujarnya.
Untuk memicu industri lebih giat melakukan ekspor, pemerintah merancang kebijakan pemberian insentif fiskal. Selain itu, perlu dilakukan harmonisasi tarif dan revisi PPnBM untuk menggairahkan industri otomotif di Indonesia memproduksi kendaraan sedan sebagai upaya memenuhi kebutuhan pasar mancanegara, seperti ke Australia.
Berdasarkan data Kemenperin, pada Januari-Oktober 2018, industri otomotif di Indonesia mengekspor kendaraan roda dua dengan total nilai sebesar 1,3 miliar dolar AS Sedangkan, untuk kendaraan roda empat, dengan nilai 4,7 miliar dolar AS.
Potensi lain juga ditunjukkan di sektor kimia dan industri semen. Sebab, kapasitas saat ini sebesar 100 juta ton per tahun, sementara kebutuhan domestik 70 juta ton per tahun.
"Namun demikian, memang perlu diperhatikan kombinasi pasar domestik dan ekspor supaya volumenya meningkat," ucapnya.
Di samping itu, Airlangga mengemukakan, Indonesia masih menjadi negara tujuan utama untuk lokasi investasi. Bahkan, adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina, dinilai membawa peluang bagi Indonesia.
Beberapa perusahaan ada yang sudah menyatakan minat investasi di Indonesia, seperti industri otomotif dari Korea dan Jerman. Hingga saat ini, investasi industri non migas diperkirakan mencapai Rp 226,18 triliun.
Dari penanaman modal tersebut, total tenaga kerja di sektor industri yang telah terserap sebanyak 18,25 juta orang. Jumlah tersebut naik 17,4 persen dibanding tahun 2015 di angka 15,54 juta orang.
Sementara itu, Sekjen Kemenperin Haris Munandar mengatakan, pihaknya juga akan fokus pada pengembangan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan industri. Di antaranya melalui program vokasi dan link and match.
"Sudah ada 600 perusahaan yang sudah melakukan kerja sama dengan SMK untuk membina mereka," katanya.
Melalui program itu, Haris menuturkan, target ke depan adalah bagaimana mendorong Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia memiliki kompetensi dan kemampuan. Sektor yang difokuskan bervariasi, tergantung potensi dan kebutuhan daerah masing-masing.
Misalnya, di Kendal, fokus pada industri furniture dan pengolahan kayu sementara di Bandung, ada tekstil. Di Surabaya, fokus pada alas kaki dan petrokimia di Cilegon. "Hampir seluruh industri yang jadi prioritas ini memang mereka yang menyerap banyak tenaga kerja," kata Haris.