REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Ratusan warga Korea Selatan (Korsel) telah menggugat pemerintah pada Kamis (20/12) untuk mendapatkan kompensasi atas kerja paksa yang mereka lakukan di perusahaan-perusahaan Jepang selama Perang Dunia II. Gugatan itu merupakan putaran baru perselisihan sejarah antara kedua negara.
Pada Oktober lalu, Mahkamah Agung Korsel memutuskan Nippon Steel & Sumitomo Metal Corp Jepang harus memberikan kompensasi kepada empat pekerja paksa asal Korsel. Keputusan itu diambil karena hak ganti rugi mereka tidak diberikan saat ikatan diplomatik dinormalkan pada perjanjian 1965.
Berdasarkan perjanjian itu, Korsel menerima sekitar 800 juta dolar AS dalam bentuk bantuan ekonomi dan pinjaman dari Jepang. Uang itu dihabiskan untuk membangun kembali infrastruktur dan ekonomi yang dirusak oleh Perang Korea 1950-53.
Putusan yang mendukung pekerja paksa telah tercatat dalam gugatan. Presiden Korsel Moon Jae-in mengatakan pekan lalu, ia menghormati keputusan individu untuk mendapatkan hak kompensasi.
Sebanyak 1.103 mantan pekerja paksa dan keluarga mereka telah mengajukan gugatan di pengadilan Seoul pada Rabu (19/12). Mereka meminta Pemerintah Korsel dapat memberikan 100 juta won kepada masing-masing dari mereka sebagai kompensasi karena telah menerima dana dari Jepang.
Gugatan itu ditambahkan ke tiga gugatan yang sebelumnya telah diajukan oleh 283 korban kerja paksa dan keluarga mereka. "Pemerintah harus memberi kompensasi kepada kami terlebih dahulu, mengambil tanggung jawab untuk menggunakan uang yang diambil dari perjanjian 1965," kata kelompok itu pada konferensi pers di Seoul, dikutip Channel News Asia.
Korsel dan Jepang telah berbagi sejarah pahit yang mencakup penjajahan Jepang pada 1910-1945 di semenanjung Korea dan mobilisasi paksa tenaga kerja di perusahaan Jepang. Anak perempuan dan perempuan dewasa, yang banyak dari mereka warga Korea, dipaksa bekerja di rumah bordil Jepang semasa perang.