REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah China menegaskan melindungi hak-hak kebebasan beragama dan kepercayaan warganya yang terdiri dari beragam suku dan keyakinan. Termasuk suku Uighur, ada 10 suku di Xinjiang yang mayoritas menganut agama Islam, dengan jumlah penduduk sekitar 14 juta jiwa.
"Pemerintah Tiongkok, berdasarkan peraturan dan perundang-undangan, memberikan perlindungan kepada setiap warga negaranya, termasuk Muslim suku Uighur di Xinjiang untuk menjalankan kebebasan beragama dan kepercayaan," demikian keterangan tertulis Kedutaan Besar China yang diterima di Jakarta, Kamis.
Di Xinjiang terdapat 24 ribu masjid atau sekitar 70 persen dari jumlah total masjid di seluruh China, jumlah masjid per kapita berada di jajaran terdepan di dunia. Xinjiang memiliki 29 ribu ulama atau sekitar 51 persen dari jumlah total ulama muslim di seluruh China.
Selain itu, terdapat 103 ormas agama Islam yang mengambil porsi 92 persen dari seluruh ormas agama di Xinjiang. Didirikan pula beberapa pesantren dan madrasah. Setiap tahun, pemerintah lokal menyelenggarakan ribuan muslim menunaikan ibadah haji ke Mekkah dengan menggunakan pesawat sewaan dan menyediakan staf dokter, tukang masak, pemandu, penerjemah dan sebagainya untuk memberikan layanan sepanjang perjalanan.
Kitab Suci Alquran dan serangkaian koleksi dari Al-Sahih Muhammad Ibn-Ismail al-Bukhari telah diterjemahkan dan dipublikasikan dalam bahasa Mandarin, Uighur, Kazak, Kirgiz dan bahasa lainnya di Tiongkok. Pernyataan ini sekaligus membantah tudingan masyarakat internasional bahwa Pemerintah China telah melanggar hak asasi manusia etnis Muslim Uighur di Xinjiang.
Sebelumnya, Konsul Jenderal China di Surabaya Gu Jingqi menyebut persoalan Suku Uighur sebagai masalah separatis yang muncul dari sebagian kecil warga setempat. "Warga muslim Uighur di Xinjiang sekitar 10 juta jiwa, sebagian kecil berpaham radikal ingin merdeka, pisah dari RRT. Itu yang kami, Pemerintah China atasi," kata Jingqi, di Surabaya, Jumat (13/12).
Jingqi beranggapan tindakan terhadap etnis Uighur bukanlah bentuk intoleransi terhadap kaum minoritas di China. Menurut dia, Pemerintah China memperlakukan warga sama dan tidak membatasi umat beragama menjalankan ibadah.
Sementara itu, dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang mendapat respons dari berbagai elemen masyarakat Indonesia seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah yang meminta China membuka diri dengan memberi penjelasan sebenarnya mengenai keadaan masyarakat Uighur, dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga internasional untuk mengatasi berbagai masalah dan tindakan yang bertentangan dengan kemanusiaan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai perwakilan Pemerintah RI telah menyatakan menolak tindak pelanggaran HAM, namun menegaskan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri China.