REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reja Irfa Widodo
Indonesia sedang dilanda isu mafia pengaturan skor yang membuat geram seluruh pecinta sepak bola Tanah Air. Bila memang ingin segera beranjak dari belenggu mafia, Indonesia bisa belajar dari Eropa.
Pada akhir November 2009, sepak bola Eropa terguncang. Total 17 orang ditangkap, 15 orang di Jerman dan dua orang di Swiss. Penangkapan ini dilakukan otoritas Kepolisian Jerman terkait dugaan pengaturan skor di 200 laga sepak bola yang tersebar di sembilan negara Eropa.
Tidak hanya terjadi di kompetisi domestik di Jerman, Swiss, Inggris, dan Austria, pengaturan skor juga diduga terjadi di dua laga kualifikasi Liga Champions. Sebuah kompetisi yang dianggap paling bergengsi klub-klub benua biru.
Belasan orang ini diduga merupakan anggota kartel judi, yang disebut-sebut berafiliasi dengan jaringan judi di Eropa Timur. Mereka berusaha menyuap pemain, pelatih, klub, dan bahkan perangkat pertandingan. Total ada sekitar 1,48 juta dolar Amerika Serikat (AS) diamankan dari penangkapan tersebut.
"Tidak diragukan lagi, ini merupakan pengungkapan terbesar kasus pengaturan skor di sepanjang sejarah sepak bola Eropa," kata Ketua Komisi Disiplin asosiasi sepak bola Eropa (UEFA), Peter Limacher kala itu.
Sepanjang dekade 2000 hingga 2010, sepak bola Eropa memang dihantam begitu keras dengan kasus pengaturan skor. Sejumlah kasus pengaturan skor sempat terungkap di Italia, Jerman, Portugal, Inggris, dan Turki.
Namun, lantaran kurangnya bukti di pengadilan, kasus pengaturan skor seperti menguap begitu saja. Padahal, tidak kurang sanksi yang dijatuhkan UEFA terhadap klub, pemain, ataupun pelatih yang kedapatan terlibat dalam aksi pengaturan skor.
Sembilan bulan sebelum penangkapan besar-besaran di Bochum, Jerman itu, UEFA melarang salah satu klub asal Makedonia, FK Pobeda, terlibat dalam kompetisi di bawah UEFA selama delapan tahun.
FK Pobeda.
Begitu pun nasib Presiden Podeba, Aleksandar Zabrcanec dan kapten Pobeda, Nikolce Zdravevski, yang tidak boleh lagi terlibat di dunia sepak bola seumur hidup. Sanksi UEFA ini berdasarkan putusan Badan Arbitrase Olahraga (CAS), yang menyebut orang-orang tersebut terbukti berusaha memengaruhi hasil laga kualifikasi Liga Champions antara Pobeda dan klub asal Armenia, Pyunik, pada 2004 silam.
Pengusutan kasus Pobeda ini berawal dari kecurigaan UEFA terhadap ketidakwajaran dalam bursa taruhan di laga tersebut. "Hasil pengusutan dan pengakuan sejumlah saksi, presiden klub dan kapten tim terbukti berusaha memanipulasi hasil laga demi bisa memberikan keuntungan buat mereka sendiri dan pihak ketiga," tulis keterangan Komisi Disiplin UEFA dalam tuntutannya ke CAS.
Sejak saat itu, UEFA menyatakan perang terhadap praktik-praktik pengaturan skor. UEFA pun melakukan kerjasama dengan Europol untuk bisa membasmi dan menangkap para pelaku dan mafia pengaturan skor. Kerjasama ini sempat membuahkan hasil.
Pada 2013, Europol menyebut setidaknya ada 380 pertandingan di seluruh Eropa yang hasilnya telah diatur sedemikian rupa oleh sejumlah pihak. 435 orang, yang terdiri dari perangkat pertandingan, pemain, pelatih, petinggi klub, dan pelaku kriminal, dicurigai terlibat dalam skandal tersebut.
Sebanyak 50 orang akhirnya ditangkap usai Europol melakukan investigasi, yang dikenal dengan nama Operasi Veto, hampir selama tiga tahun. Berdasarkan hasil penyelidikan Europol, praktik pengautran skor ini ternyata melibatkan sindikat kartel judi, yang beroperasi hingga Asia, dan menjalin koneksi dengan organisasi kriminal di Eropa.
"Ini adalah pekerjaan organisasi kriminal yang berbasis di Asia, dan dioperasikan oleh jaringan mereka yang berada di Eropa. Ini menjadi investigasi terbesar terkait pengaturan skor yang dilakukan Europol. Kami telah mengungkapkan praktek kejahatan yang begitu besar," ujar Kepala Europol, Rob Wainwright, seperti dikutip The Guardian.
Perputaran uang dengan jumlah besar di bursa taruhan sepak bola memang begitu menggiurkan buat pelaku kriminal untuk bisa memetik keuntungan. Seperti dilansir Sportradar, jumlah uang yang berputar dalam bursa taruhan judi di laga final Liga Champions bahkan bisa mencapai 1 miliar euro. Secara keseluruhan, jumlah uang yang beredar di industri judi internasional bisa mencapai 1,5 triliun euro.
UEFA pun tidak kehabisan akal. Pada awal tahun ini, UEFA bekerja sama dengan Asosiasi yang membawahi rumah-rumah judi internasional, ESSA (Sports Betting Integrity), untuk bisa membasmi potensi pengaturan skor.
UEFA berharap dengan kerjasama berupa perturakan informasi, terutama mengenai ketidakwajaran dalam bursa taruhan judi di sebuah pertandingan, bisa sedikit mengikis potensi praktek pengaturan skor. Lewat platform yang dikembangkan ESSA, UEFA bisa melakukan pengawasan, penelusur, bahkan melaporkan adanya ketidakwajaran dalam pasar taruhan judi di sebuah laga.
Selain itu, ada pula sistem deteksi penipuan lewat judi (BFDS), yang dirancang untuk mengawasi 32 ribu pertandingan di seluruh daratan Eropa setiap tahun. Baik itu pertandingan-pertandingan di kompetisi domestik ataupun di level kontinental.
"Kerjasama dengan ESSA ini adalah upaya terbaru UEFA untuk mengikis adanya usaha manipulasi hasil pertandingan. Kunci untuk bisa melakukan hal ini adalah perturakan informasi dan data di antara pihak-pihak terkait. Pengaturan skor adalah 'kanker' yang mengancam ruh dari sepak bola. Permainan ini harus dilindungi dari orang-orang yang berusaha mengambil keuntungan dengan cara melanggar hukum," kata Direktur Integritas UEFA, Emilio Garcia, di laman resmi UEFA.