REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi masyarakat yang terdiri dari pegiat Pemilu, pakar para pemikir Hukum Tata Negara, dan para advokat menolak kriminalisasi terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Itu dilakukan usai anggota DPD Partai Hanura DKI Jakarta melaporkan Ketua KPU Arief Budiman dan Komisioner KPU Hasyim Asy'ari ke Bareskrim Polri.
Laporan tersebut merupakan kelanjutan upaya Oesman Sapta Odang (OSO) untuk menjadi calon anggota DPD RI, tanpa harus mundur dari Ketua Umum Partai Hanura. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.30/PUU-XVI/2018 melarang pengurus partai politik merangkap jabatan sebagai anggota DPD.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) yang juga mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menyebut koalisi mendukung penuh langkah KPU.
"KPU telah secara konsisten menjalankan wewenang dan kewajibannya sebagai penyelenggara Pemilu, sesuai dengan UUD 1945 dan UU Pemilu," ujar Hadar dalam keterangan tertulis yang diterima wartawan, Ahad (23/12).
Meskipun, koalisi menghormati upaya-upaya hukum yang ditempuh Oesman Sapta sebagai hak dari setiap warga negara. Namun ia mengingatkan aparat penegak hukum agar tidak memproses laporan tersebut.
"Perlu diingat, aparat penegak hukum tidak boleh memidanakan individu penyelenggara negara yang berupaya menegakan kehendak UUD 1945 berdasarkan putusan MK. Pelaporan terhadap penyelenggara Pemilu dapat berdampak negatif pada kualitas Pemilu 2019 dan demokrasi Indonesia," kata Hadar
Sebab, koalisi menilai KPU telah melakukan analisis dan konsultasi dengan berbagai pihak, untuk menjalankan Putusan MK sesuai dengan wewenangnya. Begitu pun setelah adanya Putusan Pengujian Peraturan KPU oleh Mahkamah Agung (MA) dan Putusan PTUN DKI Jakarta.
KPU memberi kesempatan kepada Oesman Sapta masuk dalam daftar caleg DPD sampai 21 Desember untuk melengkapi syarat pencalonan, yakni mengundurkan diri dari pengurus Partai Hanura.
Namun alih-alih mengikuti perintah tersebut, KPU justru dilaporkan dan mungkin akan dilakukan langkah-langkah lainnya, seperti pelaporan kepada Badan Pengawasn Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Ia mengungkap adanya dua putusan dari MA dan PTUN dijadikan dasar untuk melakukan tindakan-tindakan lanjutan ini. Padahal, harus diingat bagaimana kedudukan Putusan MK secara konstitusional.
Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, MK memberikan tafsir konstitusional atas Undang-Undang, sementara MA dan semua pengadilan lain di bawah MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
"Tindakan penyelenggara negara berdasarkan undang-undang, wajib mengacunya pada Putusan MK yang sudah menegaskan tafsir konstitusional UU Pemilu.
Untuk itu, koalisi menyatakan dukungan penuh terhadap KPU yang secara konsisten menjalankan wewenang dan kewajibannya sebagai penyelenggara Pemilu, sesuai dengan UUD 1945 dan UU Pemilu.
"Dalam konteks memastikan pelaksanaan kehendak Konstitusi ini, kami juga menghimbau Bawaslu dan DKPP untuk secara konsisten menerapkan UUD 1945 dan UU Pemilu dalam kasus-kasus lanjutan dari kasus ini," ujar Hadar.