Senin 24 Dec 2018 11:39 WIB

Global Bond akan Menguntungkan Divestasi Freeport

Penjualan global bond agar cadangan dolar dalam negeri tidak tergerus.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Gita Amanda
Pekerja memeriksa proses pengolahan biji tambang untuk memisahkan mineral berharga dari pengotornya (Sellplotasi) PT Freeport Indonesia, Tembagapura, Mimika, Papua.
Foto: Musiron/Republika
Pekerja memeriksa proses pengolahan biji tambang untuk memisahkan mineral berharga dari pengotornya (Sellplotasi) PT Freeport Indonesia, Tembagapura, Mimika, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali menilai, divestasi Freeport Indonesia dapat memberikan keuntungan bagi negara. Adapun, menurutnya, alasan pemerintah jual global bond untuk membiayai saham Freeport Indonesia yakni agar cadangan dolar AS di dalam negeri tidak tergerus. 

Di sisi lain, Rhenald mengakui bahwa global bond yang dipakai untuk membiayai divestasi tentu memiliki risiko tersendiri. Karena, setiap bisnis maupun pembiayaan pasti mempunyai risiko. 

"Lebih beresiko lagi kalau belinya pakai loan atau APBN, karena rupiah akan langsung tertekan. Ini kan kita berada di tengah-tengah era trade war," ujar Rhenald dalam keterangan tertulisnya, Ahad (23/12).

Rhenald menjelaskan, apabila pemerintah membiayai divestasi dengan menggunakan loan, maka tahun depan harus langsung membayar bunga sekaligus cicilan pokoknya. Sedangkan, pembelian dengan global bond biaya pokoknya dibayar di belakang. 

 "Artinya kita bisa menabung, dapat bunga pula," kata Rhenald.

Rhenald menjelaskan, Ebitda Freeport per tahun sebesar 4 miliar dolar AS dengan net profit mencapai dua miliar dolar AS. Oleh karens itu, membeli saham Freeport denaan skema divestasi senilai 4 miliar dolar AS, maka dalam 4 tahun sudah bisa membayar global bond dari devidennya saja. 

"Ini kan sama dengan modal dengkul. Siapa yang nggak ngiler. Makanya global bond itu oversubscribe," kata Rhenald.

Di sisi lain, dengan divestasi tersebut, Indonesia akan mendapatkan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dahulu tidak pernah dibayat oleh Freeport Indonesia. Rhenald menambahkan, Indonesia juga akan mendapatkan bea keluar, dan smelter yang sejak dahulu tidak pernah diberikan. Bahkan Rhenald mengatakan, dahulu pemerintah kerap berkompromi dan lebih menguntungkan Freeport, di mana mereka memurnikan emasnya di Spanyol sehingga Indonesia tidak pernah mengetahui kandungan aktual emas, perak, dan tembaga yang ada di dalam tanah tambangnya. 

"Kita hanya dikasih norma dan manggut-manggut saja dulu itu. Kini Freeport lebih kooperatif karena mereka mendapat lawan yang seimbang. Indonesia harus percaya diri, harus bangga dengan equal position ini," kata Rhenald. 

Adapun Rhenald mengingatkan, 2019 mendatang produksi tambang Freeport akan menurun. Sebab tambang fase pertama di puncak Grassberg akan ditutup. Maka ada fase peralihan selama 1-2 tahun menuju tambang baru yang underground, dan izinnya baru keluar. Izin baru ini pun bukan lagi KK, tapi surat izin sesuai UU Minerba yaitu IUP.

"Selama masa transisi pasti labanya akan turun dulu sementara. Pasti nanti akan ada politisasi lagi. Bersiap-siaplah mendengarkan hoaks-hoaks baru ya.Itu sebabnya perlu bond dengan tennor yang panjang untuk mengurangi resiko," ujar Rhenald. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement