Senin 24 Dec 2018 17:20 WIB

Inalum: Divestasi Freeport tak Seperti Beli 'Barang Sendiri'

Kontrak Karya Freeport tidak menyatakan jika berakhir, bisa dimiliki pemerintah.

Red: Nur Aini
Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot (kedua kanan) berbincang bersama Sekjen Kementerian ESDM Ego Syahrial (kedua kiri), CEO Freeport McMoRan Richard Adkerson (kanan) dan Dirut PT Inalum Budi G Sadikin (kiri) seusai penyerahan Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK) kepada PT Freeport Indonesia di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (21/12/2018).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot (kedua kanan) berbincang bersama Sekjen Kementerian ESDM Ego Syahrial (kedua kiri), CEO Freeport McMoRan Richard Adkerson (kanan) dan Dirut PT Inalum Budi G Sadikin (kiri) seusai penyerahan Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK) kepada PT Freeport Indonesia di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (21/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar-Lembaga Inalum Rendi Witular mengatakan proses divestasi Freeport tidak seperti membeli "barang sendiri" milik Indonesia.

"Sangat disayangkan beberapa pengamat tidak membaca data dan Kontrak Karya (KK) PTFI sebelumnya, namun berani membuat analisis bodong dan menyesatkan publik seolah-olah kita membeli tanah air kita sendiri," ungkap Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan AntarLembaga Inalum Rendi A. Witular dalam keterangan tertulis, Senin (24/12).

Inalum pada Jumat meningkatkan kepemilikannya di PTFI dari 9,36 persen menjadi 51 persen dengan membayar 3,85 miliar dolar AS atau Rp 55 triliun. Inalum menjadi pengendali perusahaan yang memiliki tambang Grasberg di Papua dengan kekayaan emas, perunggu, dan perak sebesar Rp 2.400 triliun hingga 2041.

PTFI melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan KK dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada 1967 di zaman Soeharto dan diperbarui melalui KK 1991 di zaman Presiden yang sama dengan masa operasi hingga 2021.

Terkait dengan masa operasi tersebut, perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan (FCX), pengendali PTFI, dan pemerintah memiliki interpretasi yang berbeda atas isi pasal perpanjangan. Pengertian FCX adalah bahwa KK akan berakhir pada 2021 namun mereka berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun (hingga 2041). Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara "tidak wajar". Interpretasi yang berbeda terkait kata "tidak wajar" ini harus diselesaikan di pengadilan internasional (arbitrase).

Jika ambil jalur arbitrase dampaknya operasional PTFI akan dikurangi atau bahkan dihentikan. Ini akan berakibat pada runtuhnya terowongan bawah tanah sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi. Tambang Grasberg adalah yang terumit di dunia.

Dampak kedua adalah ekonomi Mimika akan terhenti karena sekitar 90 persen ekonomi mereka digerakkan oleh kegiatan PTFI. Tidak ada jaminan pula Indonesia dapat menang di arbitrase yang sidangnya dapat berlangsung bertahun-tahun, dan jika kalah bisa pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi jauh lebih besar dari harga divestasi.

Dalam KK itu pun tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir, pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan tambang Grasberg secara gratis. KK PTFI tidak sama dengan kontrak yang berlaku di sektor minyak dan gas di mana jika kontrak berakhir langsung dimiliki oleh pemerintah.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement