REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan Islam terus berhembus di Kazakhstan. Negara pecahan Uni Soviet yang terletak di Asia Tengah itu dalam beberapa tahun belakangan semakin gencar menerapkan nilai-nilai, prinsip dan praktik keislaman dalam berbagai bidang kehidupan, setelah sempat mengendur.
Sejak menjadi negara independen awal tahun 1990-an, semangat keislaman di tengah masyarakat sebenarnya tak pernah surut. Ini merupakan imbas setelah mereka mengalami penekanan di era komunis Soviet sebelumnya.
Begitu lepas dari pengaruh Moskow, upaya untuk menggiatkan aktivitas keagamaan segera dilakukan, semisal pembinaan masjid dan sekolah agama dengan bantuan keuangan dari Turki, Mesir, dan Arab Saudi. Keduanya berkembang pesat di negara multietnis ini.
Pada 1991, 170 buah masjid telah difungsikan, dan lebih dari separuhnya adalah masjid yang baru dibangun. Terdapat pula sekitar 230 komunitas Muslim yang aktif di Kazakhstan.
Edisi Alquran pertama dalam bahasa Kazakhs yang didasarkan pada alfabet Cyrillic, juga diterbitkan di Almaty (ibu kota negara sebelum pindah ke Astana) pada 1992. Pun perguruan tinggi Islam banyak didirikan, terutama untuk mengkaji literatur-literatur Arab.
Semakin banyak negara Islam yang bersimpati dan memberikan bantuan demi tegaknya Islam di Kazakhstan. Pembangunan Pusat Kebudayaan Islam pada 1993 di Almaty, misalnya, didanai dari bantuan luar negeri sebesar 10 juta dolar.
Akan tetapi, meski Islam berkembang cukup baik, dan penduduk Muslim menjadi mayoritas, sejatinya Islam bukanlah dasar negara di Kazakhstan. Konstitusi yang dikukuhkan pada 1995 menyebutkan bahwa Kazakhstan adalah negara sekuler.
Setelah itu, geliat Islam melambat. Kazakhstan tak banyak menghadirkan aspek-aspek Islam di masyarakat. Pelajaran agama tidak lagi wajib diterapkan di sekolah-sekolah.