Senin 24 Dec 2018 14:14 WIB

Terobosan-Terobosan Dakwah di Kazakstan

Pemerintah dan masyarakat kini kembali bertekad menggerakkan sarana-sarana keagamaan

Masjid Agung Hazrat Sultan di Astana, Kazakstan
Foto: trend.az
Masjid Agung Hazrat Sultan di Astana, Kazakstan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski Islam berkembang cukup baik, dan penduduk Muslim menjadi mayoritas, sejatinya Islam bukanlah dasar negara di Kazakhstan. Konstitusi yang dikukuhkan pada 1995 menyebutkan bahwa Kazakhstan adalah negara sekuler.

Setelah itu, geliat Islam melambat. Kazakhstan tak banyak menghadirkan aspek-aspek Islam di masyarakat. Pelajaran agama tidak lagi wajib diterapkan di sekolah-sekolah.

Akibatnya, pengetahuan masyarakat Islam Kazakhstan pada prinsip-prinsip agama, terbilang minim. Ghirah mereka dalam praktik keislamaan menunjukkan kondisi yang sama.

Islam akhirnya dianggap sebagai agama formalitas. Ini dibuktikan dari polling yang pernah dilakukan terhadap sejumlah mahasiswa di Shymkent, Kazakhstan Selatan.

Hasilnya cukup memprihatinkan. Hanya empat persen dari mereka yang aktif di masjid, 18 persen hanya datang sekali atau dua kali dalam sepekan, 32 persen sekali atau dua kali dalam setahun, dan 44 persen tidak lebih sekali dalam setahun.

Meski demikian, seiring perkembangan zaman, hal-hal tersebut perlahan berubah. Pemerintah dan masyarakat kini kembali bertekad menggerakkan sarana-sarana keagamaan secara fundamental.

Sejak 2009, telah ada kewajiban untuk memberikan mata pelajaran agama di sekolah, yang sebelumnya diajarkan secara sukarela. Pun siswa harus mengikuti pelajaran tersebut, sesuai agama masing-masing.

Pelajaran agama diajarkan oleh guru-guru yang punya keahlian khusus di bidang ini, dan mencakup 'seluruh agama serta sejarahnya.' Menurut Serik Irsaliyevas, juru bicara Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan, kebijakan itu bertujuan untuk lebih mempromosikan toleransi beragama.

''Dasar-dasar toleransi agama harus dibentuk sejak dini,'' papar Serik Irsaliyevas. ''Sebaliknya, kami tidak ingin mendorong munculnya fanatisme agama.''

Terobosan lainnya yakni dalam bidang keuangan. Beberapa bulan lalu, parlemen Kazakhstan telah meratifikasi perjanjian antara pemerintah dengan pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) untuk mendirikan bank Islam di negara tersebut.

Ini akan menjadi yang pertama, sebuah institusi keuangan Islam beroperasi di Kazakhstan. Dan tidak tanggung-tanggung, dana yang dikucurkan mencapai angka 100 juta Dirham UEA.

Nantinya, bank Islam tersebut berkedudukan di Ibu Kota Astana dan Almaty. Dengan berdirinya bank ini, diharapkan mampu menggerakkan roda perekonomian serta menarik investor asing untuk menanamkan modalnya.

Di lingkup masyarakat hal serupa tak kalah gencar. Ada keinginan untuk merevitalisasi institusi-institusi Islam. Mereka yang dianggap sebagai pemimpin agama, semakin dihormati dan mendapat pengakuan.

Semangat kembali menggerakkan kegiatan dan aktivitas keislaman bergema di mana-mana. Mulai dari pemuka masyarakat, agama, bahkan politisi kerap mengangkat isu ini.

Menteri Luar Negeri Marat Tahzin pernah mengatakan, perlunya menerapkan norma Islam dalam keseharian, mempelajari sejarahnya, budaya serta peninggalan-peninggalannya. Perubahan-perubahan tadi pada akhirnya membangkitkan harapan akan tumbuhnya kesadaran beragama yang lebih luas.

sumber : Yus/Berbagai Sumber
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement