REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah
Memaafkan bukanlah perkara mudah. Tetapi, ketika seseorang mau memaafkan orang lain, sebenarnya ia telah mengambil keputusan besar untuk menggugurkan haknya. Hak untuk mengungkit sakit hati, menyimpan dendam, atau membalas perlakuan buruk yang pernah dideritanya.
Tetapi, dari teladan Rasul SAW dan sejumlah sahabat yang mulia, terpancar hikmah bahwa memaafkan itu nikmat. Ada beberapa manfaat yang akan kita petik ketika sudi membukakan pintu maaf bagi siapa pun yang pernah menyakiti.
Di antaranya, pertama, memaafkan dapat mengurangi beban hidup. Seringkali, rasa sakit yang kita terima dari orang lain tidak berkaitan langsung dengan tujuan atau bagian penting hidup kita. Bila memilih untuk selalu mengungkit-ungkitnya, berarti kita menjadikan sesuatu yang tidak penting sebagai masalah serius dan beban bagi hidup kita.
Padahal, dalam perkara yang sangat prinsipil sekalipun, Nabi SAW tetap mau memaafkan, sehingga tidak menjadi beban baru bagi dakwah dan hidup beliau. Ketika orang-orang Thaif merespons dakwah beliau dengan tindakan yang sangat kasar, Rasulullah memilih untuk memaafkan.
Beliau tidak hanya melupakan perlakuan kasar mereka, malah membalasnya dengan untaian doa, ''Ya Allah, berilah hidayah kepada mereka. Sesungguhnya mereka mengasariku hanya karena mereka tidak tahu.''
Kedua, memaafkan adalah pangkal kemuliaan. Sebab, hanya orang yang mulia dan berjiwa besar yang bisa dengan lapang melebur kesalahan orang lain. Dan Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan kebajikan setiap hamba-Nya. Dia akan membalas kelapangan orang yang mau membuka pintu maafnya dengan limpahan kemuliaan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah bersabda, ''Allah akan membalas orang yang mau memaafkan (orang lain) dengan menambah kemuliaannya.''
Tuntunan ini menjadi lentera bagi para sahabat ketika gelisah. Seperti Abu Bakar RA yang marah besar kepada Musthah; orang yang telah dirawat dan dinafkahinya, namun justru ikut memfitnah Aisyah RA dalam tragedi khabar al-ifki. Abu Bakar hendak mengusir Musthah. Tetapi, ketika teringat tuntunan Nabi tersebut, ia mengurungkan niatnya.
Ketiga, memaafkan adalah tabungan akhirat yang tak bernilai. Dalam Alquran suras al-Syura ayat 40, Allah SWT berfirman, ''Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya menjadi tanggungan Allah.''
Saat menafsirkan ayat ini, Imam al-Hasan RA meriwayatkan, ''Pada hari kiamat nanti, semua manusia akan dibawa ke hadapan Allah kemudian ada yang menyeru, 'Tidak boleh berdiri kecuali orang yang mempunyai simpanan pahala di sisi Allah'. Ternyata, tidak ada yang berdiri kecuali orang-orang yang pernah memaafkan orang lain kala hidup di dunia.'' n