REPUBLIKA.CO.ID, Ada yang mengusik hati Sami, seorang Kristen Palestina, saat merayakan Natal di Betlehem. Dia tak sepenuhnya bersukacita karena terbayang-bayang tentang pemilu yang akan digelar Israel. Sami tahu, hasil pemilu itu akan sangat berdampak pada hidupnya.
Setiap tahun Sami selalu datang ke Manger Square, tempat kelahiran Yesus Kristus, untuk mengikuti misa Natal. Pohon Natal yang menjulang dengan aneka pernak-pernik serta lilitan lampu beraneka warna memeriahkan suasana perayaan.
Kendati nuansa suka cita begitu terasa, perasaan gundah tak bisa hilang dari hati Sami. Dia begitu mencemaskan pemilu Israel mendatang. Sebab menurutnya hal itu menjadi awal yang menentukan untuk proses perdamaian dengan Palestina.
"Perdamaian masih jauh dari kata tercapai, saya benar-benar merasa bahwa kekosongan antara Palestina dan Israel belum pernah begitu luas, ini adalah tahun terburuk," kata Sami, dikutip laman the Independent.
Menurutnya saat ini seluruh warga Palestina sedang menahan nafas menjelang digelarnya pemilu Israel. "Saya berharap kemenangan (sayap) kiri karena itu adalah kesempatan terakhir kami untuk adanya semacam perdamaian," ujarnya.
Sami menilai kemenangan sayap kanan akan menjadi mimpi buruk baginya dan Palestina. "Jika (sayap) kanan menang, kita tidak akan pernah melihat negara Palestina," ucapnya.
Mohammed, seorang Muslim yang bergabung dalam perayaan Natal di Manger Square sependapat dengan Sami. Menurutnya perdamaian Israel dan Palestina memang masih sulit diraih.
Dia mengaku belum melihat adanya solusi untuk krisis Palestina dan Israel. "Anda tidak dapat membuat dua negara dari satu, dan Israel tidak akan memberi kami ruang apa pun," kata Mohammed.
Israel akan menggelar pemilu pada April 2019. Menurut jajak pendapat yang dilakukan surat kabar Israel, Maariv, Benjamin Netanyahu berpeluang besar mempertahankan jabatannya sebagai perdana menteri.
Berdasarkan survei Maariv, partai Netanyahu, yakni Partai Likud, diprediksi memenangkan 30 kursi dari 120 kursi di parlemen. Jumlah tersebut sama dengan yang diperoleh Partai Likud dalam pemilu terakhir Israel pada 2015. Mayoritas pemerintahan untuk blok koalisi sayap kanan dipimpin oleh Likud.
Komentar yang menyertai jajak pendapat terbitan Maariv mengatakan, jika Likud kembali memenangkan pemilu, Netanyahu harus memenuhi janjinya untuk membentuk pemerintahan sayap kanan persis seperti yang dipimpinnya saat ini. Hal itu berarti termasuk kebijakan yang diambilnya terhadap Palestina.
Netanyahu telah mengisyaratkan akan melakukan hal tersebut ketika kembali menjabat sebagai perdana menteri. "Koalisi saat ini, di mata saya, inti dari koalisi berikutnya. Kami meminta mandat yang jelas dari pemilih untik terus memimpin negara Israel dengan cara kami sendiri," ujarnya.
Baru-baru ini, dalam sebuah pidato, Netanyahu juga menyampaikan tentang keberhasilannya menghadapi tantangan keamanan yang ditimbulkan Iran dan kelompok perjuangan Palestina, khususnya yang berbasis di Jalur Gaza.
Kendati belum lama ini Israel telah menyepakati gencatan senjata dengan Hamas pascaterlibat perang roket, tapi belum ada tanda-tanda Tel Aviv akan mengendurkan pengepungannya terhadap Gaza.
Bulan lalu, kekhawatiran muncul tentang kemungkinan terjadinya perang keempat antara Israel dan Hamas dalam waktu kurang dari satu dekade. Selain kian menipiskan kemungkinan perdamaian, hal itu tentu akan semakin memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza.
Situasi demikian membuat penduduk Palestina mencemaskan munculnya solusi tiga negara yang akan memisahkan Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Israel. Sebab Israel selalu memandang Gaza sebagai ancaman terhadap keamanannya.
Seperti Sami telah ceritakan, saat ini seluruh masyarakat Palestina menunggu hasil pemilu Israel dengan hati berdebar-debar. Mereka masih mengharapkan adanya solusi damai dan hal itu akan sulit diraih dengan pemerintahan sayap kanan Israel saat ini.