REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah berharap agar DPR menghasilkan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang berkeadilan. Tak hanya mencukupi kebutuhan masyarakat atas air, RUU SDA tak seharusnya mematikan sektor industri.
Sebagaimana pemberitaan dalam beberapa bulan terakhir, RUU SDA yang tengah di godok DPR memuat pasal-pasal lemah yang mengundang perdebatan. Pasal 51 ayat (1) memperlihatkan bahwa RUU SDA belum memiliki orientasi perbedaan yang jelas tentang kewajiban negara dalam menyediakan air bersih dan air minum bagi masyarakat dan sekaligus kewajiban negara dalam membangun perekonomian yang memajukan masyarakat dunia usaha.
Berdasarkan Pasal ini izin penggunaan SDA untuk kebutuhan usaha dengan menggunaan air dan daya air sebagai materi yang menghasilkan produk berupa air minum untuk kebutuhan sehari-hari diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa dan dapat melibatkan pihak swasta yang bergerak dalam bidang industri air minum dengan memenuhi prinsip yang sudah ditentukan dalam Pasal 46 RUU.
Penjelasan Pasal 51 menegaskan produk berupa air minum meliputi antara lain air minum yang diselenggarakan melalui sistem penyediaan air minum dan air minum dalam kemasan. “Kerja sama itu ditafsirkan bahwa air harus dikelola oleh negara,”ujar Rusli.
Sementara ekonom Faisal Basri menilai RUU SDA yang berkeadilan mengingat air tidak terlepas dari isu kesehatan, keamanan, pangan, perubahan iklim, dan ekosistem. Ia menyayangkan apabila DPR dan pemerintah justru membuat RUU SDA terpisah dengan RUU tentang air perpipaan dan sanitasi. “Jangan membuat RUU terpisah dan malah nanti dibatalkan MK,” ucapnya.
Dipaparkan Faisal, masalah pengelolaan air di Indonesia tidak kunjung selesai, sebab ada perdebatan mengenai privatisasi air yang dianggap gagal dalam mendistribusikan air kepada masyarakat. Sudah saatnya perdebatan itu disudahi.
Permasalahan dalam SDA di Indonesia, ujar Faisal, bukan terkait kelangkaan air yang disebabkan oleh kontrak antara swasta dan negara. Persoalan timbul karena Indonesia belum dapat menerapkan manajemen air yang baik dan masalah keterbatasan infrastruktur untuk mendistribusikan air kepada masyarakat.
Akibatnya, terjadi kelangkaan di berbagai daerah. “Kebutuhan masyarakat terhadap air lebih cepat daripada kita membangun infrastrukturnya. Masalahnya bukan soal kelangkaan air melainkan manajemen air yang buruk, keterbatasan infrastruktur, sehingga memicu kelangkaan di berbagai daerah,” terang Faisal.