Jumat 28 Dec 2018 06:42 WIB

Semua Gara-Gara Trump

Kinerja ekonomi tidak dapat membendung sentimen negatif dari perekonomian global.

Rep: ahmad fikri noor/adinda pryanka/iit septyaningsih/lida puspaningtyas/idealisa masyrafina/antara/ Red: Friska Yolanda
Perang dagang AS dengan Cina
Foto: republika
Perang dagang AS dengan Cina

REPUBLIKA.CO.ID, Pada awal tahun ini, tepatnya pada Maret 2018, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menggegerkan dunia perekonomian karena ingin menetapkan tarif impor bagi produk baja dan alumunium. Sasarannya adalah negara pengekspor kedua produk tersebut, terutama Cina.

Tujuan Trump menetapkan tarif tersebut adalah ingin mengembalikan seluruh industri tersebut ke Amerika Serikat. Hal ini diharapkan dapat menambah lapangan pekerjaan dan meningkatkan perekonomian AS dengan semua dikerjakan di negeri sendiri. Selain itu, Trump menilai Cina telah melakukan praktik perdagangan yang tidak adil dan melakukan pencurian kekayaan intelektual.

Pernyataan ini tentu ditentang oleh para importir. Cina tak terima dengan keinginan AS tersebut dan berbalik menerapkan tarif terhadap sejumlah produk AS seperti buah dan daging olahan.

Baca juga, Cina Kenakan Tarif Khusus Lebih dari 100 Barang Impor AS

Genderang perang ditabuh. Perang dagang pun dimulai. Tak hanya menerapkan tarif impor, AS juga berencana membatasi kegiatan investasi Cina di negara tersebut. Hal ini tentu berdampak pada perekonomian negara terpadat di dunia tersebut. Kedua negara saling serang kebijakan tarif impor. Wakil demi wakil saling diutus berharap ada benang merah penerapan tarif, hasilnya nihil. Kedua negara bersikukuh dengan keinginan mereka.

Sampai akhirnya kedua presiden bertemu di pertemuan G20 di Buenos Aires pada akhir November. Dalam pertemuan dua setengah jam, kedua negara ekonomi terbesar dunia itu sepakat mengakhiri perang tarif dengan sejumlah syarat.

Trump membatalkan rencana menaikkan tarif im por untuk produk Cina dari 10 persen menjadi 25 persen dengan total nilai 200 miliar dolar AS. Awalnya, kebijakan ini bakal diterapkan Trump pada 1 Januari 2019. Sebagai timbal baliknya, Cina sepakat membeli produk pertanian, energi, industri, dan produk AS lainnya. Meskipun nilai pembelian belum disepakati, jumlahnya diyakini sangat besar dan bermanfaat menyeimbangkan neraca perdagangan kedua negara.

Lalu, apa dampaknya pada Indonesia? Tentu saja sangat signifikan. Perekonomian Indonesia sebagai satu dari ratusan negara berkembang sangat bergantung pada fluktuasi ekonomi di negara maju. Sedikit goncangan yang diakibatkan oleh AS akan berdampak pada ekonomi emerging market, termasuk Indonesia.

Perang dagang antara AS dan Cina memberikan sentimen negatif pada perekonomian Indonesia. Doktor ekonomi dan perdagangan internasional dari Universitas Indonesia (UI) Fithra F Hastiadi mengatakan Asia akan menjadi korban utama dari perang dagang ini, terutama emerging market yang sangat mengandalkan perdagangan internasional. Kondisi tersebut pada akhirnya akan membuat perlambatan ekonomi secara global mengingat Asia merupakan mesin pendorong pertumbuhan ekonomi dunia.

Ketidakpastian ekonomi negara berkembang akibat perang dagang ini mendorong arus keluar dana asing dari pasar modal. Ditambah lagi, bank sentral AS The Federal Reserve berencana menaikkan suku bunga secara bertahap di sepanjang tahun 2018. Dapat ditebak, capital outflow ini berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah dan mandeknya pertumbuhan ekonomi.

Menyikapi pelemahan rupiah ini, Bank Indonesia (BI) akhirnya mengakhiri era suku bunga rendah. Di akhir kepemimpinannya, Gubernur BI Agus Martowardojo menaikkan suku bunga pada 17 Mei 2018 dari 4,25 menjadi 4,5 persen. Tak sampai dua pekan, pimpinan baru BI Perry Warjiyo kembali menaikkan suku bunga sebanyak 25 basis poin menjadi 4,75 persen. 

Baca juga, AS dan Cina Sepakat Tunda Tarif Baru

Pada saat itu Perry mengatakan, kejibakan yang dilakukan BI merupakan kebijakan pre-emptive (antisipatif), dan ahead of the curve (selangkah lebih maju) dan frontloading untuk merespons risiko dan tekanan eksternal. Perry juga menegaskan arah (stance) kebijakan moneter BI saat ini telah berubah menjadi 'bias ketat' dari sebelumnya 'normal'. "Stance kami dari yang sebelumnya 'netral' kini menjadi 'bias ketat', namun belum sampai ke arah 'ketat'," ujar Perry.

Secara konsisten, BI menaikkan suku bunga dua bulan sekali untuk merespons tekanan eksternal. Kenaikan suku bunga terakhir dilakukan pada Rapat Dewan Gubernur pada 15 November dimana BI 7-day (Reverse) Repo Rate naik dari 5,75 persen menjadi enam persen. Pada pertemuan 20 Desember, BI mempertahankan suku bunga acuan di level enam persen.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement