Jumat 28 Dec 2018 05:50 WIB
Kaleidoskop 2018

Kaleidoskop 2018: Netralitas Polri Diuji di Tahun Politik

Selain menjaga keamanan pelaksanaan pemilu, Polri harus menunjukan netralitasnya.

Rep: Mabruroh/ Red: Bayu Hermawan
Logo Polri (Illustrasi)
Logo Polri (Illustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suhu politik dipastikan akan semakin memanas pada tahun 2019. Dua pasangan capres dan cawapres serta tim kampanyenya masing-masing, akan semakin sengit bersaing untuk bisa merebut suara rakyat Indonesia. Kondisi ini pun membuka celah semakin rawannya terjadi pelanggaran hukum. Laporan terkait kampanye negatif hingga kampanye hitam, diprediksi akan ramai diterima oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Kinerja Polri ditahun politik akan semakin berat. Polri dituntut bukan hanya bisa menjaga keamanan rangkaian Pemilu 2019, namun juga meyakinkan publik bahwa institusi itu netral dan independen di pemilu. Presiden RI Joko Widodo sejak awal telah mengintruksikan agar Polri, TNI, bersikap netral. Presiden bahkan meminta masyarakat untuk turut mengawasi netralitas TNI dan Polri ini.

"Netralitas TNI, netralitas Polri dan netralitas BIN itu adalah bersifat mutlak dalam penyelenggaraan Pemilu maupun Pilkada," kata Presiden usai meninjau kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta pada Senin (25/6).

Jika apabila masih terjadi adanya dugaan pelanggaran, kata Presiden maka untuk segera melaporkannya kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Presiden juga berharap dalam kondisi apapun saat pemilu ini berjalan, agar tidak mengorbankan persatuan bangsa dan negara hanya karena perbedaan pandang dan pilihan dalam politik.

Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian mengingatkan agar anggotanya netral selama pemilu dan Pilpres 2019 besok. Bahkan Tito juga melarang anggotanya untuk berfoto bersama pasangan calon dan ikut dalam suatu kampanye.

"Jika ada yang melanggar, maka akan dikenakan sanksi berupa teguran, mutasi, dan dipecat," ujar Tito di PTIK, (13/9).

Kasus-kasus yang bersinggungan dengan elit kubu capres tertentu di pemilu 2019, polisi membaginya dalam dua kategori. Yaitu tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu dan tindak pidana umum. Jika permasalahan yang dilaporkan adalah berkaitan dengan pemilu maka polisi akan menyerahkan kasus tersebut kepada satgas gakumdu. Di dalam gakumdu, terdiri dari polisi, kejaksaan dan bawaslu.

"Jadi nanti ketika ada laporan yang masuk, ini akan diasssessment , dianalisa apakah peristiwa itu sebuah pelanggaran pemilu atau pidana umum," kata Karopenmas Divisi Humas Brigjen Dedi Prasetyo Mabes Polri, Senin (7/12).

Misalnya terjadi pelaporan kasus pencemaran nama baik,  Dedi menjelaskan jika pencemaran nama baik tersebut adalah  terkait masalah pemilu maka Gakumdu yang memproses. Dalam penegakan hukum ini, kata dia, polri mengedepankan asas equality before the low sehingga polisi tidak akan memihak partai manapu dalam penyelesaian kasusnya.

"Semua sama dimuka hukum, tidak memandang si A si B, partai A partai B, penegakan hukum ya penegakan hukum tidak bisa dicampur adukkan dengan partai , penegak hukum tidak bisa dicampur dengan politik," jelasnya.

Pemilu memang kerap kali diwarnai dengan aksi saling lapor dari masing-masing kubu. Polri pun tidak bisa menampik banyaknya laporan yang masuk berkiatan dengan capres dan cawapres maupun partai pendukung. Aksi saling lapor ini kata Dedi, lebih banyak didapatkan di media sosial dan kemunginan akan berlanjut hingga mendekati detik-detik pemilu.  Oleh karena itu Satgas Nusantara akan terus melakukan patroli siber untuk melawan kampanye hitam dan hoaks bekerja sama dengan Kominfo dan Badan Siber dan Sandi Negara.

"Memang kita melihat prediksi aski saling lapor itu justru di media sosial ada peningkatan, makanya ada satgas nusantara itu fungsinya," jelas Dedi.

Satgas Nusantara dalam pengamanan pemilu ini terbagi dalam Sub Satgas Manajemen Media dan Sub Satgas Penegekan Hukum. Satgas Nusantara akan terus melakukan patroli dan bila kemudian menemukan adanya akun-akun penyebar hoaks, ujaran kebencian, kampanye negatif dan kampanye hitam bila berkaitan dengan pemilu maka akan segera ditindak oleh Bawaslu.

"Kalau terkait sangat erat dengan pemilu itu langsung diserahkan kepada Bawaslu nanti Bawaslu kerjasama dengan ahli IT mengassessment itu, menganalisa ini merupakan suatu pelanggaran pemilu atau tidak, kalau pidana pemilu atau pelanggaran pemilu maka gakumdu akan langsung memproses," ujar Dedi.

Polri tak Toleransi Kampanye Hitam

Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menegaskan, pihaknya tidak akan mentoleransi kampanye hitam di kampanye pemilu dan pilpres 2019. Pelaku penyebar kampanye hitam kata Tito, dapat dikenakan pidana karena melanggar Undang-Undang pemilu.

"Yang tidak bisa ditoleransi Polri adalah black campaign, itu artinya kampanye tentang sesuatu yang tidak terjadi tapi seolah-olah dibuat, direkayasa didesain seolah-olah itu terjadi," ujarnya di Mabes Polri, Jakarta, Senin (17/9).

Tito memastikan, Polri akan melakukan penindakan pada segala bentuk kampanye hitam ini, bila kampanye hitam berupa berita bohong atau hoaks, maka UU ITE mengancam pelaku. Sedangkan pada kampanye negatif, lanjutnya, Polri tidak bisa sepenuhnya mencegah. Karena kampanye negatif adalah mengungkap fakta buruk tentang calon yang kerap diungkap pada masa kampanye. Menurutnya, kampanye negatif ini bakal terjadi dalam segala kontestasi mulai dari pemilihan Presiden hingga anggota dewan.

"Kampanye negatif dalam artian sesuatu yang benar terjadi tentang suatu kekurangan kontestan boleh-boleh saja disampaikan dalam batas tertentu dan etika tertentu," katanya.

Kampanye negatif ini, Tito mengatakan memiliki dampak publik bisa memahami bahwa calon pemimpin atau wakilnya juga memiliki kelemahan. Sehingga, saat memilih, utuh dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tito berharap kontestasi pileg dan pilpres berjalan secara demokratis dan aman.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mengatakan kampanye negatif tetap akan dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu. "Bahwa peserta pelaksana kampanye dilarang melakukan memfitnah, dan sebagainya, apakah itu masuk fitnah atau enggak, lihat itu," kata Abhan saat ditemui di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/10).

Karena meskipun kampanye negatif memiliki makna mencari kelemahan lawan politik berdasarkan fakta, dan jauh berbeda dengan definisi kampanye hitam yang berisi fitnah. Namun, ia menilai ada kemungkinan dalam kampanye negatif tersebut bisa diselipkan dengan kampanye hitam.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menilai kampanye yang dilakukan partai pengusung dalam tiga bulan ini lebih cenderung memperlihatkan kampanye sporadik. Para calon belum menunjukkan komitmen mereka dalam menjaga aktivitas kampanye sebagai bagian dari pendidikan politik.

"Jadi, saya belum melihat konsistensi dan komitmen yang betul-betul dipelihara oleh para kontestan dengan mandat moral politik hukum yang harus mereka jalani," kata Titi.

Titi juga menuturkan, salah satu asas pemilu yang bebas dan adil dari 13 asas standar internasional adalah kebebasan dari kebohongan, pengaruh yang menyesatkan, atau tekanan pada pemilu. Selama tiga bulan ke belakang, ia belum melihat adanya realisasi dari asas tersebut. "(Saya lihat) belum bisa merealisasikan kampanye yang membebaskan pemilih dari kebohongan, pengaruh yang menyesatkan, atau tekanan pada pemilu," jelasnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement