REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesta demokrasi Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legilslatif (Pileg) 2019 hendaknya tidak dianggap sakral seakan persoalan antara hidup dan mati. Hal ini agar tidak terjadi polarisasi yang memicu perpecahan masyarakat akibat perbedaan afiliasi politik.
Pernyataan ini disampaikan Ketua Dewan Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Prasetyo Soenaryo di Jakarta, Jumat (28/12).
“Kita anggap Pilpres sebagai sesuatu yang biasa, rutinitas setiap lima tahun, sehingga tidak menimbulkan polarisasi. Jadi silakan saja mau dukung si A, atau si B,” ucap Prasetyo.
Prasetyo menyatakan, boleh saja beda pilihan politik tetapi cukup diselesaikan di kotak suara, Dalam pergaulan masyarakat sehari-hari biasa saja, tidak perlu ada permusuhan karena berbeda dukungan.
Terkait dengan Pileg, dia mengimbau masyrakat memilih calon anggota DPR /DPRD, termasuk calon anggota DPD berdasarkan program-programnya, bukan pada pribadi.
“Jadi program apa yang ditawarkannya calon tersebut, dan bukan siapa dia dan apa latar-belakangnya karena itu sudah bagian seleksi partai politik yang mengusungnya,” terang dia
Prasetyo juga mengomentari model pemilu sekarang ini yang dia nilai sudah baik, dan sesuai nalar demokrasi. Misalnya, dengan waktu kampanye yang panjang, termasuk penyelenggaraan Pemilu serentak antara Pemilu Legislatif dan Pilpres, termasuk juga dalam penerapan electoral threshold yang 20 persen.
“Apakah sistem Pemilu kali ini sudah berjalan sesuai dengan nalar demokrasi?. Sebab itu, kita harus melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan Pemilu kali nantinya,” kata dia,