REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tercatat selama tahun 2018 pemerintah Indonesia menetapkan beberapa komoditas pangan dilakukan secara impor. Di antaranya merupakan sektor produksi pertanian. Berdasarkan data dihimpun, beberapa komoditas pertanian itu adalah beras sebanyak 2 juta ton melalui tiga kali tahapan serta jagung untuk pakan ternak 100 ribu ton.
Menanggapi hal itu, Dekan Fakultas Pertanian IPB Suwardi mengatakan, impor komoditas pangan masih dapat ditoleransi dengan catatan beberapa sebab alasan. "Pertama, produksi pangan belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jika tidak mengimpor maka terjadi kelangkaan bahan pangan dan harga melonjak naik," ujar Suwardi, berdasarkan rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (29/12).
Kemudian alasan kedua, ucap Suwardi, impor pangan diterapkan sebab produksi dalam negeri belum memenuhi kualitas standarisasi kebutuhan industri domestik."Ketiga, mengimpor bahan pangan untuk cadangan dan penstabil harga," kata Suwardi.
Suwardi menilai, kebijakan impor pangan juga memiliki pengaruh positif terhadap sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Misalnya saja, impor pangan untuk kebutuhan industri bakal mendorong usaha bergeliat sehingga mendongkrak ekonomi.
Kendati begitu, ucap Suwardi, pemerintah sebaiknya tetap memprioritaskan kualitas produksi pangan dalam negeri untuk memasok kebutuhan industri.
Aspek lainnya terhadap ekonomi bangsa, menurut Suwardi, kebijakan impor pangan yang difokuskan kepada kebutuhan masyarakat sehari-hari bakal mempengaruhi turunnya harga di pasaran. "Untuk komoditas yang sifatnya seperti itu perlu, jika mulai terjadi kekurangan pasokan," ujar Suwardi.
Meskipun kebijakan impor komoditas pangan masih bisa ditoleransi dengan sebab tertentu, Suwardi mengimbau agar pemerintah tetap fokus kepada produksi pertanian dan kualitasnya dari dalam negeri. Produksi pertanian yang jumlahnya telah dianggap lebih sebaiknya diprioritaskan sebagai program ekspor oleh pemerintah Indonesia.