Selasa 01 Jan 2019 13:50 WIB

Manufaktur Cina Alami Kontraksi Pertama Kalinya

Ekonomi Cina menunjukkan tren perlambatan sebagai dampak dari perang dagang.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Friska Yolanda
Aktivitas ekspor impor
Foto: Republika/Prayogi
Aktivitas ekspor impor

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Sektor industri manufaktur Cina mengalami kontraksi untuk pertama kalinya selama lebih dari dua tahun terakhir. Berdasarkan Biro Statistik Nasional, Indeks Pembelian Manajer atau Purchasing Manager Index (PMI) Cina turun menjadi 49,4 pada Desember.

Diketahui, apabila PMI berada di atas level 50 menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur berkespansi. Namun, jika berada di bawah level 50 maka sektor tersebut mengalami kontraksi.

Dilaporkan Reuters, Selasa (1/1), Cina diperkirakan akan meluncurkan lebih banyak langkah dukungan ekonomi dalam beberapa bulan mendatang. Pada November, pendapatan industri turun untuk pertama kalinya dalam tiga tahun. Sub-indeks untuk total kontrak baru atau pesanan baru berada di angka 49,7. Sementara permintaan ekspor mulai menyusut selama tujuh bulan berturut-turut dengan sub-indeks 46,6.

Adapun ekonomi Cina melambat pada tahun ini dan diperkirakan mengalami pelemahan lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang. Hal ini terjadi akibat dampak dari perang dangan dengan Amerika Serikat (AS). Perang dagang tersebut telah menimbulkan kerugian sebesar miliaran dolar AS bagi kedua belah pihak, termasuk memukul industri otomotif, teknologi, dan pertanian. 

"Ada banyak pesanan jangka pendek dari luar negeri, tetapi hanya sedikit sekali pesanan jangka panjang yang diterima oleh Cina karena adanya kehati-hatian di tengah ketidakpastian perdagangan. Prospek ekspor jangka menengah ke panjang tidak terlalu optimistis," ujar Ekonom di Hwabo Trust, Nie Wen. 

Di sisi lain, sektor otomotif Cina sangat terpukul. Penjualan di pasar mobil terbesar dunia tersebut akan turun untuk pertama kalinya sejak 1990. 

"Desember lalu kami melihat tingkat pemanfaatan kapasitas pembuat mobil Cina secara keseluruhan sekitar 56 persen, tapi sekarang kami memperkirakan turun menjadi 50 persen karena pembuat mobil pada umumnya memotong produksi," ujar analis senior LMC Automotive, Alan Kang di Shanghai. 

Adapun pasar saham Cina anjlok sekitar 25 persen pada 2018, sementara nilai tukar mata uang yuan turun sekitar 5 persen terhadap dolar AS. Gesekan perang dagang tersebut telah menganggu rantai pasok global, dan memicu kekhawatiran terjadi pukulan lebih besar lagi pada tahun depan. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Cina akan melambat menjadi 6,2 persen pada 2019. Artinya, ekonomi Cina masih tumbuh kuat di tataran global namun untuk ekspansi manufaktur terjadi perlambatan dalam 30 tahun terakhir. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement