REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Korban tsunami di pesisir Selat Sunda perlu mendapatkan terapi psikis atau kejiwaan. Ini guna mencegah depresi berkepanjangan yang berdampak buruk terhadap kualitas dan produktivitas masyarakat.
"Kami berharap para korban tsunami itu menerima terapi atau bimbingan kejiwaan agar mereka kembali pulih pada kehidupan normal," kata Suswanto, seorang relawan dari Jakarta saat mengunjungi Labuan, Pandeglang, Selasa (1/1).
Saat ini, ia mengatakan, banyak korban tsunami mengalami depresi karena harta bendanya hilang maupun rusak, serta ketakutan ancaman bencana. Mereka yang semula strata ekonominya cukup baik, kata dia, dengan adanya bencana kehidupanya menjadi terpuruk.
Misalnya, kata dia, seorang juragan ikan juga memiliki kapal, tetapi kondisi kapal miliknya rusak berat. Begitu pula masyarakat yang memiliki rumah bagus, harta berharga, dan kendaraan, namun hanya seketika hancur bahkan hilang.
Di samping itu, kata dia, rasa ketakutan membayangi jiwa mereka pascatsunami. Karena itu, katanya, mereka yang terdampak tsunami perlu mendapat terapi psikis maupun bimbingan keagamaan untuk memulihkan kejiwaan korban.
Ia mengatakan apabila mereka tidak dilakukan terapi dan bimbingan dikhawatirkan, akan memunculkan depresi berat. "Kami yakin melalui terapi dan bimbingan itu bisa mengembalikan kehidupan normal," katanya.
Samsudin, seorang warga Panimbang, mengatakan ada warga yang terdampak tsunami di wilayah itu meninggal dunia pada hari kedua pascatsunami. Padahal, katanya, dia sehari sebelumnya sudah mengungsi dan hari kedua pulang kembali ke rumah yang jaraknya berjauhan dengan pantai.
Namun, saat menerima kabar air laut naik dan sirine tanda bencana berbunyi, lalu kejiwaanya terganggu hingga tak sadarkan diri dan meninggal dunia. "Korban itu dipastikan terganggu kejiwaanya karena merasa ketakutan, sehingga perlu adanya terapi psikis dan bimbingan keagamaan," katanya.