Selasa 01 Jan 2019 23:41 WIB

Di manakah Tepatnya Negeri Abessinia itu?

Dalam sabdanya, Rasulullah SAW menyebut Abessinia sebagai negeri kerukunan.

Hijrah, ilustrasi
Hijrah, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Makkah, bulan Rajab tahun ketujuh sebelum Hijriah (615 M). Kala itu, di tengah pekatnya malam, sejumlah sahabat Rasulullah SAW diam-diam meninggalkan Makkah bersama harta benda yang mereka miliki. Para sahabat itu terdiri atas 11 pria dan lima wanita, di antaranya Utsman bin Affan dan istrinya Ruqayah, Abdur Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Utsman bin Maz'un selaku ketua rombongan.

Dari Makkah, mereka menuju tepian Laut Merah, tepatnya Pelabuhan Shuaibah. Di sana, dua perahu telah siap membawa mereka ke sebuah negeri untuk menghindari kebiadaban kaum kafir Quraisy. Adalah Abessinia, sebuah kerajaan di benua Afrika, yang menjadi tujuan mereka. Mengapa mereka pergi ke sana? Para sahabat itu hijrah ke Abessinia atas saran Rasulullah SAW.  Inilah hijrah pertama yang dilakukan kaum Muslimin sebelum peristiwa hijrah ke Madinah.

Saat itu, tekanan dan permusuhan dari kaum kafir Quraisy semakin keras. Sebagian pengikut Rasulullah disiksa, bahkan dibunuh. Maka itu, untuk melindungi mereka, Rasulullah menyarankan agar mereka hijrah ke Abessinia. Negeri ini dipilih karena penguasa Abessinia saat itu, Raja Najasyi, sangat bijaksana meski beragama Nasrani. Orang Arab menyebut Raja Najasyi sebagai Ashama Ibnu Abjar. "Sesungguhnya di

Negeri Habasyah (Abessinia) terdapat seorang raja yang tak seorang pun dizalimi di sisinya, pergilah ke negerinya, hingga Allah membukakan jalan keluar bagi kalian dan penyelesaian atas peristiwa yang menimpa kalian," ujar Nabi SAW.

Kisah hijrah para sahabat Nabi SAW ke Abessinia diungkapkan dalam Shahih Al-Bukhari, mengutip penjelasan dari Ummu Salamah, istri Rasulullah SAW yang juga ikut dalam peristiwa hijrah ke Abessinia.

Lantas, di manakah tepatnya negeri Abessinia itu? Abessinia adalah nama kuno dari Ethiopia, sebuah negara di Afrika Timur. Nama itu (Abessinia) merupakan perubahan dari nama Arab, Habasyah, yang menunjuk pada campuran berbagai ras yang berasal dari Arab Selatan.

Bangsa Abessinia merupakan keturunan bangsa Semit, sementara bahasa mereka, Amhariyah, serumpun dengan bahasa Arab. Seperti rajanya, saat itu pun sebagian besar rakyat Abessinia memeluk agama Kristen (Nasrani).

Dr Sayuqi Abu Khalil dalam Atlas Hadits al-Nabawi mengatakan, wilayah al-Habasyah, saat ini dikenal dengan nama Ethiopia atau Eritrea. "Masyarakatnya dikenal sebagai al-Habasy, yakni bangsa Sudan atau bangsa berkulit hitam," ujar Dr Syauqi.

Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah SAW menyebut Abessinia sebagai negeri kerukunan umat beragama. Betapa tidak, warga Abbessinia dengan penuh keramahan menerima dan memberikan perlindungan kepada kaum yang berbeda agama dengan mereka. Inilah yang menjadi alasan sehingga bangsa Arab pada masa perluasan tidak melancarkan ekspansi ke wilayah itu.

Pada hijrah pertama ke Abessinia ini, para sahabat Rasulullah disambut dengan penuh keramahan dan persahabatan. Raja Najasyi lalu menempatkan mereka di Negash yang terletak di sebelah utara Provinsi Tigray. Setelah tiga bulan di sana, mereka kembali ke Makkah, dengan harapan kaum kafir Quraisy telah melunak. Namun nyatanya, perlakuan kaum Quraisy tetap keras. 

Maka itu, Rasulullah kembali memerintahkan umat Muslim untuk hijrah ke Abessinia. Jumlah sahabat yang hijrah pada gelombang kedua itu terdiri atas 80 orang. Rasulullah pun berpesan kepada mereka untuk menghormati dan menjaga Abessinia atau Ethiopia.

Namun, kafir Quraisy tak tinggal diam. Mereka mengutus Amr bin As serta Imarah bin Walid menghadap Raja Najasy. Keduanya meminta sang raja untuk mengusir para pengikut Rasulullah SAW dari tanah Abessinia. Raja Najasyi menolak permintaan itu dan mengizinkan para sahabat tinggal di negeri itu hingga Rasulullah SAW hijrah ke Madinah.

Berada di negeri seberang dimanfaatkan pula oleh para sahabat untuk mengenalkan ajaran Islam. Pada salah satu kesempatan berdialog dengan Raja Najasyi, kaum Muslim yang diwakili Ja'far bin Abi Talib menjelaskan ajaran-ajaran dasar Islam, seperti menyembah Allah SWT dan tidak mempersekutukan-Nya, berlaku jujur, melaksanakan shalat, zakat, serta puasa.

Saat itu, ia juga membacakan surah Maryam ayat 1-33 tentang kisah Maryam dan anaknya, Isa, yang juga terdapat dalam Injil. Mendengar penjelasan itu, Raja Najasyi terharu. Ia pun menyimpulkan bahwa dasar ajaran Musa, Isa, dan Muhammad adalah sama.

Setelah beberapa lama menetap di Abessinia, sebagian besar sahabat Rasulullah kembali ke tanah Arab, tepatnya Madinah, ketika Nabi SAW sudah hijrah ke sana. Namun, beberapa lainnya memutuskan untuk menetap di Abessinia. Mereka lalu menyebarkan agama Islam di wilayah timur benua hitam itu.

sumber : Islam Digest Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement