Rabu 02 Jan 2019 06:42 WIB

KPK: Perlu Ada Tata Kelola Bencana yang Profesional

Bencana alam menuntut adanya pembentukan tata kelola profesional dan integritas.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ratna Puspita
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menyatakan, sektor penanganan bencana alam memang menuntut adanya pembentukan tata kelola bencana secara profesional dan berintegritas. Dia mengatakan, semua pihak juga harus belajar dari pengalaman tsunami di Aceh.

"Ada isu jadup (jatah hidup) yang dikorup mencapai ratusan juta. Demikian juga disebut-sebut di bencana gempa NTB. Ini menuntut semua kita untuk membuat tata kelola bencana dengan profesional," tutur dia, Selasa (1/1).

Baca Juga

Saut juga mengakui belum bisa memastikan apakah dana penanganan bencana rawan diselewengkan. "Saya belum detail ya seperti apa proses auditnya. Saya harus lihat dulu apa sudah pernah ada kajian KPK tentang ini," kata dia.

Pada Jumat (28/12) pekan lalu, KPK mengamankan 20 orang dalam operasi tangkap tangan terkait proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). KPK kemudian menetapkan delapan tersangka yang terdiri dari pejabat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan pihak swasta.

Pihak yang diduga sebagai pemberi yaitu Dirut PT WKE Budi Suharto, Direktur PT WKE Lily Sundarsih, Direktur PT TSP Irene Irma, dan Direktur PT TSP Yuliana Enganita Dibyo. Sementara itu, pihak yang diduga penerima adalah Anggiat Partunggul Nahot Simaremare selaku Kepala Satker SPAM Strategis/PPK SPAM Lampung, Meina Woro Kustinah selaku PPK SPAM Katulampa, Teuku Mochamad Nazar sebagai Kepala Satker SPAM Darurat, dan Donny Sofyan Arifin selaku PPK SPAM Toba 1.

Uang suap yang diberikan kepada pejabat Kementerian PUPR ditujukan untuk mengatur agar dalam lelang proyek itu dimenangkan PT WKE dan PT TSP yang pemiliknya merupakan orang yang sama. PT WKE sendiri diatur untuk menggarap proyek yang nilai besarannya berada di atas Rp 50 miliar.

Saut menambahkan, KPK belum memastikan tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Kementerian PUPR akan dituntut hukuman mati. Namun KPK akan mengkaji apakah ada celah untuk menuntut hukuman mati dalam kasus yang di antara proyeknya berada di daerah terkena bencana alam.

"Proses penyidikan masih berjalan. Seperti apa nantinya ini berkembang untuk kemudian pasal yang dikenakan saat ini akan dimaksimalkan, atau apakah kasus tersebut akan berkembang melibatkan pihak lain sehingga masuk ke penyelidikan dan penyidikan pada pasal 2 UU Tipikor 31/1999 dan 20/2001 agar ada hukuman mati sebagaimana syarat dan atau penjelasan pasal 2, nanti akan kita lihat perkembangannya," ujar dia.

Namun, Saut menambahkan, sejauh ini tuntutan maksimal hukuman masih mengacu pasal yang dikenakan saat ini, yakni pasal 5, 11, 12 dan 13 UU Tipikor juncto pasal 64 dan pasal 55 KUHP. Tidak menutup kemungkinan, jaksa penuntut umum KPK nantinya akan tetap menggunakan pasal tersebut untuk memberikan hukuman yang maksimal.

KPK, sambung Saut, sangat mengecam keras dan prihatin karena dugaan suap tersebut salah satunya terkait proyek pembangunan SPAM di daerah bencana Donggala, Palu, Sulawesi Tengah. Daerah itu terkena bencana tsunami pada September 2018.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement