Rabu 02 Jan 2019 09:53 WIB

Konsultasi Syariah: Hukum Jual Beli Secara Kredit

Harga dalam jual tidak tunai itu boleh lebih besar dari harga jual tunai.

Oni Sahroni, Anggota DSN MUI
Foto: Dokpri
Oni Sahroni, Anggota DSN MUI

REPUBLIKA.CO.ID,  Ustaz Dr Oni Sahroni, anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, membuka konsultasi ekonomi syariah bersama Republika koran dan Republika.co.id. Anda bisa menyampaikan pertanyaan terkait hukum agama dalam transaksi ekonomi di segala bidang.

Assalamualaikum wr wb,

Baca Juga

Ustaz, bagaimana sebenarnya pandangan fikih terhadap jual beli secara kredit? Misalnya, si A menjual ponsel tunai dan berikan pilihan ke pembeli untuk mengangsur dengan harga lebih tinggi daripada harga jual tidak tunai tanpa menegaskan komponen harga jualnya. Apakah itu termasuk riba karena ada margin tambahan atas waktu cicilan? Mohon penjelasannya.

(Rahmad - Kalimantan)

Jawaban Ustaz Oni Syahroni

Waalaikumussalam wr wb,

Jual beli secara kredit atau secara mengangsur dengan harga lebih tinggi dari harga tunai itu diperkenankan. Sebab, itu bagian dari jual beli dan sebagaimana keputusan lembaga Fiqih Islam OKI Nomor 51 tentang jual beli kredit dan Fatwa DSN MUI tentang Jual Beli Nomor 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang jual beli dengan penjelasan sebagai berikut.

Pertama, transaksi ini adalah jual beli secara angsur (bai' at-taqsith), bukan utang piutang (al-qard wal iqtiradh). Walaupun transaksi ini melahirkan kewajiban/utang di sisi pembeli, transaksi ini bukan utang piutang murni karena ada perbedaan antara jual beli kredit (bai' at-taqsith) dengan utang piutang (al-qard wal iqtiradh).

Jual beli secara kredit adalah pertukaran antara uang (tsaman) dan barang (sil'ah). Layaknya jual beli di swalayan, jual beli kendaraan, dan properti. Sedangkan, utang piutang (al-qard wal iqtiradh) itu transaksi antara uang dan uang, pinjam uang yang dibayar dengan uang pula, sebagaimana as-Samarkandi: “Pinjaman dengan dirham dan dinar itu termasuk qardh.”

Selanjutnya, seluruh rukun dan syarat yang berlaku dalam jual beli berlaku dalam jual secara kredit ini.

Kedua, jual beli secara kredit ini bukan riba. Sebab, riba terjadi pada dua hal. (a) Kredit berbunga, seperti si A meminjam uang Rp 10 juta ke si B dengan syarat dibayar Rp 12 juta, maka selisih sebesar Rp 2 juta adalah riba (jahiliyah).

(b) Jual beli mata uang (sharf), bahwa penukaran antarmata uang yang sama itu harus tunai dan sama, jual beli mata uang yang berbeda itu harus tunai. Apabila dilakukan tidak tunai, itu termasuk riba nasi'ah sebagaimana ditegaskan oleh Imam Malik dan Imam Syafi'i saat menjelaskan makna hadis Ubadah bin Shamit : "(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai." (HR Muslim).

Berdasarkan ruang lingkup riba dalam hadis tersebut, maka margin atas jual beli secara kredit itu diperkenankan. Sebab, jual beli secara kredit dalam bahasan ini bukan jual beli uang dengan uang atau utang piutang (qardh), melainkan jual beli uang dengan barang (komoditas).

Ketiga, kesimpulan bahwa jual beli secara kredit diperkenankan sebagaimana keputusan lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam Nomor 51 (2/6)[1] dalam pertemuan VI pada 20 Maret 1990 di Jeddah tentang jual beli kredit.

(a) Harga dalam jual tidak tunai itu boleh lebih besar dari harga jual tunai, sebagaimana boleh menyebutkan harga tunai dan harga tidak tunai sejumlah angsuran tertentu, dan transaksi tersebut sah jika telah menetapkan hati memilih salah satunya. Namun, jika ragu-ragu dan belum ada kesepakatannya antardua harga tersebut, jual belinya tidak sah.

(b) Dalam jual beli tidak tunai, tidak boleh ada kesepakatan dalam akad bahwa ada bunga atas angsuran yang terpisah dari harga tunai yang dikaitkan dengan waktu, baik kedua belah pihak sepakat dengan persentase bunga ataupun dikaitkan dengan tingkat bunga saat itu. (Majalah lembaga Fiqih Islam edisi VI Juz 1 hlm 193). Sebagaimana penegasan kaidah fikih: “Sesungguhnya waktu memiliki porsi dari harga.”

Dan sebagaimana dalam Fatwa DSN MUI tentang Jual Beli Nomor 110/DSN-MUI/IX/2017. Pembayaran harga dalam jual beli boleh dilakukan secara tunai (al-bai' al-bat), tangguh (al-bai' al-mu'ajjal), dan angsur/bertahap (al-bai' bi al-taqsith). Harga dalam jual beli yang tidak tunai (bai' al-mu'ajjal atau bai' al'taqsith) boleh tidak sama dengan harga tunai (al-bai' al-hal).

Semoga Allah SWT memudahkan dan memberkati setiap aktivitas kita. Amin. Wallahu'alam. n

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement