REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengajukan hukuman qishash bagi para koruptor. MUI bahkan mengaku tengah menggodok usulan tersebut untuk kemudian diajukan pascapemilihan presiden 2019.
Karopenmas Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Dedi Prasetyo mengatakan bukan kewenangannya menanggapi wacana hukuman qishash tersebut. Pasalnya, sebagai aparat penegak hukum, polri hanya menjalankan apa yang sudah menjadi ketetapan dalam undang-undang (UU).
“Kami hanya melaksanakan dan menegakkan regulasi,” kata Dedi saat dikonfrimasi Republika pada Rabu (2/1).
Kendati demikian, untuk menerapkan hukuman potong tangan di Indonesia menurutnya perlu kajian mendalam. Karena penduduk Indonesia tidak sepenuhnya beragama Islam.
Oleh karena itu, Dedi menyarankan agar menanyakan langsung kepada lembaga yang berkompeten menanggapi wacana hukuman Qishash tersebut. “Itu lembaga legislatif sebagai pembuat UU dan Kumham yang berkompeten memberikan tanggapan,” kata Dedi.
Sebelumnya Wakil Sekjen MUI Tengku Zulkarnain mengaku tengah menyiapkan hukuman potong tangan kepada para tersangka koruptor. Wacana ini diajukan karena melihat besarnya anggaran negara yang dikeluarkan setiap harinya hanya untuk memberi makan para narapidana korupsi.
Pemerintah, kata dia, harus mengeluarkan Rp 4 miliar setiap hari untuk memberi makan para maling. “Pemerintah memberi uang (sebanyak) itu untuk memberi makan maling,” kata Zulkarnain.
Menurut dia, sebagian koruptor justru berasal dari anggota dewan. Ia menyontohkan kasus mayoritas 40 dari 44 anggota DPRD Kota Malang terjerat kasus korupsi. Karena itu, ia berpesan supaya masyarakat Indonesia di pemilihan umum 2019 hanya memilih pemimpin sholeh.