REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana calon presiden dan calon wakil presiden (capres/cawapres) dites baca Alquran dan shalat mengemuka. Sebelumnya, Dewan Ikatan Dai Aceh mengusulkan agar ada tes baca Alquran bagi capres/cawapres.
Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ), Prof KH Nasaruddin Umar menanggapi wacana tersebut. Menurutnya, sejak kecil orang harus sudah bisa shalat. Tapi kalau ditampilkan di depan publik untuk dites baca Alquran dan shalat, maka dipertanyakan apakah muatan politiknya lebih menonjol atau ada tujuan lain.
"Saya tidak pernah membaca hadisnya, (tidak pernah baca) riwayatnya nabi sampai sahabat calon pejabat harus di tes (baca Alquran dan shalat, Red)," kata Nasaruddin kepada Republika.co.id di Institut PTIQ, Rabu (2/1).
Ia menjelaskan, belum pernah membaca sejarah nabi dan sahabat nabi yang menjelaskan calon pejabat harus dites baca Alquran. Anggaplah membaca Alquran dan shalat merupakan persoalan yang sudah selesai bagi setiap individu.
Menurutnya, kalau tes membaca Alquran dan shalat ditampilkan secara formal kepada publik, bisa saja yang dites gugup dan tidak siap kemudian keliru. Kalau mau dites membaca Alquran dan shalat secara formal, seperti muatan politiknya lebih dominan.
"Saya enggak tau motifnya apa (tes baca Alquran dan shalat), bagi saya persoalan-persoalan sifatnya privat itu tanggung jawabnya bagi yang bersangkutan (tanggung jawab masing-masing orang)," ujarnya.
Namun, Nasaruddin mengatakan, memang idealnya semua orang yang mau memimpin Indonesia harus pintar shalat. Bagi dia pribadi, insya Allah husnuzzan (berprasangka baik) saja kepada orang lain, jangan su'udzan (berprasangka buruk). Sebab hal yang sifatnya pribadi jadi tanggung jawab masing-masing orang.