REPUBLIKA.CO.ID, SUBANG-- Bulog Sub Divre Subang, melansir serapan beras selama 2018 kemarin mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pasalnya, dari targetan 42 ribu ton setara beras, yang terserap hanya 17 persennya. Salah satu indikator penurunan serapan itu, karena banyaknya petani yang tanam beras ketan. Serta, harga di pasaran jauh lebih tinggi ketimbang harga pembelian pemerintah (HPP).
Kepala Bulog Sub Divre Subang, Dandy Arianto, mengatakan, 2018 merupakan tahun yang cukup sulit dalam menyerap beras petani. Apalagi, di Kabupaten Subang saat ini, banyak petani yang lebih memilih tanam beras ketan ketimbang beras (nasi). Karena itu, bulog kesulitan dalam merealisasikan target serapan tersebut.
"Bahkan, di tri wulan keempat ini, kami sama sekali tidak menyerap beras. Karena, hampir tidak ada panen," ujar Dandy, kepada Republika.co.id, Kamis (3/1).
Karena kondisi ini, pihaknya akan melakukan evaluasi. Termasuk, mengevaluasi pola penyerapan serta kerja sama dengan mitra bulog. Selain itu, perusahaan milik BUMN ini juga menunggu arahan dari kantor pusat dan divisi regional Jabar.
Menurut Dandy, meskipun penyerapan beras mengalami penurunan yang cukup signifikan, tetapi stok beras yang ada di gudang Bulog cukup banyak. Yakni, mencapai 7.000 ton. Stok ini, bisa mencukupi untuk kebutuhan 17 bulan kedepan.
Stok tersebut, merupakan hasil serapan beras selama 2018. Adapun beras tersebut, hingga saat ini merujuk pada arahan dari kantor pusat dan divre, diperuntukan bagi kegiatan operasi pasar serya penjualan komersial.
Mengingat, sambung Dandy, belum ada intruksi lagi soal penyediaan beras sejahtera (rastra) ataupun beras untuk program bantuan pangan non tunai (BPNT). Karena itu, meskipun keterserapan beras rendah, tidak jadi masalah.
Tak hanya itu, rendahnya serapan beras ini juga tak memengaruhi terhadap stok cadangan untuk antisipasi bencana. Kabupaten Subang, merupakan salah satu wilayah yang rawan bencana. Terutama saat musim penghujan. Banjir dan tanah longsor mengintai wilayah ini.
Karena itu, pemkab setempat sudah berkoordinasi dengan bulog untuk menyediakan cadangan beras antisipasi bencana. Hingga kini, stoknya cukup aman. Yakni, mencapai 100 ton.
"Tidak ada masalah dengan cadangan beras antisipasi bencana. Stoknya ada," tutur Dandy.
Sementara itu, Tacim Rasnadi (65 tahun) petani asal Desa Manyeti, Kecamatan Dawuan, mengaku, dirinya lebih tertarik menjual beras ke pasaran. Sebab, harganya lebih tinggi ketimbang HPP. Saat ini saja, untuk beras medium harganya lebih dari Rp 9.000 per kilogram. Kalau beras super, di atas Rp 10 ribu per kilogram.
"Kalau pembelian pemerintah melalui Bulog, harganya di bawah Rp 8.000 per kilogram. Jadi, kita lebih memilih menjual berasnya ke Pasar Induk Cipinang," ujar Tacim.