REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menilai, penerapan Harga Pokok Pembelian (HPP) gabah dan beras perlu ditinjau ulang efektivitasnya. Sebab, HPP justru menghambat kerja Bulog untuk menyerap gabah dan beras dari petani.
Ilman mengatakan, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan HPP yang tercantum dalam Instruksi presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Bulog. Dalam regulasi, diampaikan bahwa Bulog hanya diperbolehkan melakukan pembelian di tingkat petani dan penggiling apabila harganya berada di kisaran Rp 3.700 untuk Gabah Kering Panen (GKP), Rp 4.600 untuk Gabah Kering Giling (GKG) dan Rp 7.300 untuk beras dengan fleksibilitas maksimal 10 persen.
Menurut Ilman, Bulog sebaiknya diberikan keleluasaan untuk menyerap beras dan tidak terpaku pada HPP. Banyak faktor yang memengaruhi serapan beras Bulog selain penerapan HPP. Misalnya musim kemarau yang tentunya juga memengaruhi jumlah beras produksi petani.
Karena jumlahnya lebih sedikit, Ilman menuturkan, maka ada kecenderungan petani untuk menjual gabah dengan harga yang lebih tinggi. "Pada akhirnya, tidak menutup kemungkinan petani memutuskan untuk menjual ke tengkulak dan pada akhirnya akan mengganggu stabilitas harga beras di pasaran," ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Ahad (6/1).
Untuk itu, Ilman menyarankan sebaiknya pemerintah tidak usah fokus untuk mematok harga jual beli. Pemerintah justru sebaiknya perlu meninjau ulang untuk mencabut skema HPP yang diatur dalam aturan tersebut dan fokus menjaga stabilitas harga beras melalui operasi pasar menggunakan cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog.
Ilman mengatakan, ketersediaan beras di gudang-gudang Bulog memberikan pengaruh besar terhadap keputusan pemerintah untuk tidak mengimpor beras di awal 2019. Apabila pemerintah tidak memberikan prioritas terhadap penyerapan dan stok beras di gudang sejak sekarang, dikhawatirkan kebijakan impor akan dilakukan kembali dengan sifat mendadak.
Kesalahan pemerintah dalam menyerap beras terlihat pada 2018, di mana pemerintah menargetkan target serapan sebesar 2,7 juta ton. Target penyerapan ini dibagi menjadi dua term yaitu Januari sampai Juli 2018 sebesar 2,31 juta ton dan sisanya di bulan Agustus hingga September. "Namun hingga akhir 2018, realisasi penyerapan hanya sekitar 1,5 juta ton," ucap Ilman.
Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk tidak mengimpor beras di awal 2019 dikarenakan stok di gudang Bulog dianggap masih mencukupi. Untuk kekurangan beras di pasaran, dapat ditutupi melalui operasi pasar dengan menggunakan CBP yang saat ini sudah melebihi angka 2 juta ton. Sebanyak 1,5 juta ton di antaranya merupakan beras serapan lokal dan sisanya beras impor.
Kepala Divisi Pengadaan Perum Bulog Taufan Akib mencatat, stok CBP di gudang Bulog per akhir 2018 mencapai 2,2 juta ton. Dengan total yang masih banyak, Perum Bulog menetapkan target penyerapan beras 2019 sebanyak 1,8 juta ton. Angka tersebut lebih rendah dibanding target 2018, 2,72 juta ton.
Taufan menjelaskan, stok tahun ini lebih banyak dibanding dengan periode yang sama pada 2018, di mana stok awal hanya berkisar 170 ribu ton. "Tapi, kalau memang banyak pengeluarannya, Bulog akan serap kembali untuk menutup pengeluaran beras tadi," katanya pada acara diskusi di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, pekan lalu.
Saat ini, Bulog masih melakukan penyerapan beras rata-rata sekitar 400 ton per hari dari wilayah Jawa maupun Papua. Saat ini pengadaan beras dalam negeri masih berkisar 1,48 juta ton, namun masih akan terus bertambah hingga akhir tahun mencapai 1,5 juta ton.