REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, ekspor menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing suatu negara. Permasalahannya, semua negara memiliki pikiran yang sama.
Oleh karena itu, kata JK, timbul persaingan dan tumbuh daya saing. Dalam persaingan, JK menyebutkan, setidaknya ada tiga komponen penting dalam peningkatan daya saing.
Tiga komponen tersebut yakni, membuat produksi untuk lebih cepat, baik dan murah. "Apabila kita sudah memenangkan itu, kita akan memenangkan persaingan," ujarnya dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2019 dengan tema Meningkatkan Daya Saing untuk Mendorong Ekspor di Jakarta, Selasa (8/1).
Dari tiga komponen tersebut, Cina menjadi negara yang hampir memenuhi seluruh persyaratan. Dampaknya, produk Negeri Tirai Bambu itu tersebar di seluruh negara dalam ragam bentuk, dari kebutuhan rumah tangga hingga produk fesyen.
Berkaca dari kesuksesan Cina, JK mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk memenuhi tiga komponen tersebut. Tapi, ada tantangan terbesar yang harus dilalui Indonesia, yakni ketidakpastian secara internasional.
Amerika sedang memutuskan untuk shutdown, Brexit di Eropa dan konflik di Timur Tengah maupun Asia Selatan. Dari kendala yang ada di berbagai kawasan, JK menilai, Asia Tenggara masih relatif aman.
"Oleh karena itu, Indonesia masih memiliki kesempatan besar untuk meraih pasar global dengan meningkatkan daya saing," tuturnya.
Kondisi utama yang kini masih menjadi pekerjaan rumah adalah defisit neraca perdagangan. Untuk mengatasinya, JK menjelaskan, impor harus dikurangi sembari meningkatkan ekspor. Langkah ini terlihat biasa dan konservatif, tapi tidak mudah dilakukan.
JK melihat, Indonesia memang terlambat dalam sistem manufakturing, sehingga banyak tergantung pada ekspor raw material atau bahan mentah. Akibatnya, ketika ada gejolak dunia terhadap harga komoditas seperti nikel dan batubara, pendapatan Indonesia ikut menurun.
Kini, tugas pemerintah adalah meningkatkan nilai tambah dari bahan mentah atau sumber daya alam tersebut dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM). Oleh karena itu, JK mengatakan, peningkatan kualitas SDM menjadi prioritas pemerintahan pada tahun ini, di samping pembangunan infrastruktur yang terus berjalan.
Dengan kualitas SDM mumpuni, JK optimistis, Indonesia dapat mengekspor produk dengan nilai tambah lebih tinggi. Sekalipun Indonesia berada di tengah revolusi industri 4.0 yang serba otomatisasi dan digitalisasi.
"Meski kita menggunakan robot, tapi peranan tenaga kerja manusia tetap penting di belakangnya," ucapnya.
Sementara itu, Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah sudah dan akan terus melakukan sejumlah langkah jangka menengah dan panjang untuk meningkatkan daya saing. Termasuk di antaranya, membangun infrastruktur, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), memberikan fasilitas perpajakan dan prosedur perizinan yang kemudian dituangkan dalam Online Single Submission (OSS).
Dari berbagai upaya tersebut, Darmin menyebutkan, pemerintah akan memantapkan fokus pada peningkatan kualitas manusia di tahun ini. Khususnya, pendidikan dan pelatihan vokasi yang bekerja sama dengan industri.
"Sebab, kita tidak punya waktu lagi untuk membenahi sistem pendidikan dari dasar," ujarnya.
Darmin mencatat, setidaknya 58 persen tenaga kerja di Indonesia memiliki pendidikan paling tinggi adalah SMP. Kondisi ini membuat Indonesia tidak mudah untuk meningkatkan daya saing. Oleh karena itu, jalan pintasnya adalah dengan mengembangkan pendidikan dan pelatihan vokasi.
Struktur pengembangan kualitas SDM melalui vokasi akan fokus kepada SMK yang harus direformasi secara besar-besaran. Mulai dari kurikulum, tenaga pengajar dan peralatan.
Selain itu, ada juga perguruan tinggi dan politeknik yang dilibatkan, bersama dengan Balai Latihan Kerja (BLK). Darmin menjelaskan, rencana pengembangan pendidikan dan pelatihan vokasi sudah tuntas.
Dalam waktu satu atau dua pekan, lanjut Darmin, roadmap dari rencana ini akan disampaikan ke publik. "Intinya, kalau mau bersaing, infrastruktur dan SDM harus baik," katanya.