REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menanggapi mahasiswa Indonesia yang diduga menjadi menjadi korban kerja paksa di Taiwan. Dia menilai, kejadian yang dialami oleh para mahasiswa tersebut bukan kerja paksa, melainkan kerja keras.
"Kita harus mengetahui dulu apa yang terjadi, baru kita merumuskan apa itu kerja paksa atau kerja keras. Saya yakin itu bukan kerja paksa, itu mungkin kerja keras," ujar Jusuf Kalla di kantornya, Selasa (8/1).
Jusuf Kalla mengatakan, Taiwan dan Cina memiliki etos kerja keras yang sangat tinggi. Adapun budaya kerja keras sudah melekat di jiwa masing-masing pekerja. "Mereka itu kerja keras, bukan kerja paksa, bahwa mereka itu bekerja delapan jam, itu kan biasa," kata Jusuf Kalla.
Terkait dengan permintan mahasiswa Indonesia untuk membuat atase pendidikan di Taiwan, Jusuf Kalla berpendapat, tidak perlu atase khusus.
Baca juga, Ratusan Mahasiswa Indonesia Diduga Kerja Paksa di Taiwan.
Menurut Jusuf Kalla, Indonesia tidak memiliki kantor kedutaan di Taiwan, melainkan hanya kantor perdagangan. Sehingga tidak punya atase. "Jadi kantor perdagangan itu tidak punya atase, tapi tim yang mengurus itu, tentu pejabat yang ditugaskan itu menjaga, tidak perlu atase menjaganya, tapi yang paling penting mereka bukan hanya mendapatkan ilmu tapi mendapatkan budaya kerja," ujar Jusuf Kalla.
Sebelumnya, menurut Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), sejauh ini memang ada beberapa mahasiswa yang mengeluh lelah karena jam kerja lebih panjang dari waktu kerja yang telah ditentukan, yakni 20 jam per minggu untuk pelajar. Namun, ada juga beberapa mahasiswa yang tetap menikmati hal tersebut.
PPI menilai permasalahan mahasiswa Indonesia yang diduga mengalami kerja paksa di Taiwan muncul karena sejumlah pihak melakukan perekrutan dan pengiriman mahasiswa magang secara masif.
Sementara kedua belah pihak belum menyepakati detail pengelolaannya melalui suatu pengaturan teknis (technical arrangement).
Lebih lanjut pihak PPI di Taiwan menjelaskan bahwa program kuliah sambil kerja (magang) adalah salah satu program legal di bawah kebijakan New Southbound Policy (NSP) dengan nama Industrial Academia Collaboration. Ada 69 universitas dan sekitar enam sampai 10 universitas yang fokus dengan pelajar dari Indonesia.
Selain itu, kegiatan pelajar yang mengikuti program kuliah sambil harus bekerja adalah suatu hal yang legal di Taiwan. "Teman-teman mahasiswa memang harus bekerja (magang) untuk memenuhi biaya sekolah dan hidupnya karena tidak ada beasiswa. Ada beberapa universitas hanya memberikan beasiswa enam bulan sampa satu tahun saja," demikian pernyataan PPI di Taiwan.
Namun, kasus double track atau kuliah sambil magang memang sudah lama menjadi perhatian PPI. Organisasi PPI bersama dengan rekan-rekan PPI di kampus telah mengidentifikasi berbagai masalah dalam program double track. Hal itu telah dilaporkan kepada perwakilan Indonesia di Taiwan, yaitu Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei (KDEI Taipei) untuk mencari penyelesaian masalah.
Untuk itu, PPI menilai bahwa kasus double track itu memang memerlukan perhatian segera pemerintah Indonesia untuk turut menangani dan mengawasi langsung implementasi program kuliah magang tersebut.