REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B. Sukamdani mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan lembaga yang akan melakukan sertifikasi halal, baik LPPOM MUI ataupun Badan Jaminan Produk Halal (BPJPH). Justru, menurut dia, yang menjadi masalah bagi para pengusaha itu mandatori sertifikasi halal yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
"Sebetulnya yang bikin gamang itu, kan yang namanya sertifikasi halal itu sebetulnya voluntary atau sukarela. Jadi saat ini yang bikin wajib (mandatori) itu yang bikin repot semuanya," ujar Hariyadi saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (8/1).
Pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2014 menyebutkan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Mandatori sertifikasi halal UU JPH tersebut akan mulai berlaku pada 17 Oktober 2019 nanti.
Menurut Hariyadi, undang-undang tersebut akan meresahkan para pengusaha. Apalagi, menurut BPJPH nantinya akan ada label tidak halal bagi yang tidak mengajukan sertifikasi halal, sehingga menurut Haryadi nantinya bisa terjadi diskriminasi di kalangan para pengusaha.
"Apalagi yang saya dengar, sekarang kalau orang yang mau melakukan sertifikasi halal disuruh kasih labelnya tidak halal. Aneh. Jadi menurut saya undang-undang ini yang akhirnya cukup merepotkan dan meresahkan juga," ucapnya.
Hariyadi melihat, sertifikasi halal saat ini justru bukan semata-mata untuk melindungi umat Islam dari produk tidak halal, tapi lebih kepada komersial. Karena, menurut dia, setiap empat 4 tahun sekali sertifikasi halal itu juga harus diperbaharui, sehingga bisa dibayangkan akan terjadi peputaran uang yang sangat besar setelah adanya mandatori itu.
"Kalau kita harapannya semua baliknya voluntery. Ketika saya bilang produk saya halal, maka saya hukumnya wajib untuk sertifikasi. Kayak dulu sebelum-sebelumnya," kata Hariyadi.